KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga logam industri saat ini mengalami penurunan. Hal tersebut diprediksi masih akan menjadi pemberat kinerja emiten logam hingga akhir tahun 2022. Melansir Trading Economics, Kamis (24/8), harga besi turun 0,43% dalam sebulan. Harga baja turun 0,40% dalam sebulan dan 8,48% secara tahunan. Harga tembaga turun 3,28% dalam sebulan. Senada, harga nikel juga turun 2,25% secara bulanan dan 2,54% secara tahunan.
Penurunan harga tersebut dipengaruhi oleh kinerja perekonomian China yang masih lambat, termasuk dengan adanya krisis properti di Negara Tirai Bambu itu.
Baca Juga: Ekonomi China Melemah, Ekonomi Dunia juga Ikut Goyah Analis Henan Putihrai Sekuritas Ezaridho Ibnutama mengatakan, lambatnya perekonomian China menyebabkan industrinya juga mengalami penurunan produksi. Apalagi, China merupakan salah satu pembeli terbesar untuk logam industri “Jadi, krisis yang tengah dialami China memang menjadi sentimen buruk untuk industri logam saat ini,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (24/8). Saat ini, kara Ezaridho, industri logam memang tengah mengalami penurunan, tetapi sifatnya masih sementara. Untuk ke depannya, pasar masih akan mengantisipasi dari stimulus perekonomian China kembali membaik. “Sehingga, setidaknya ha itu bisa membangkitkan kembali ekonomi global di semester II 2023 atau semester I 2024,” katanya.
Baca Juga: Harga Emas Merosot Imbas Narasi Suku Bunga AS Kembali Menggema Ezaridho melihat, harga logam memang masih akan terus mengalami penurunan. “Tapi, saat ini harga logam membentuk
contango, sehingga mengindikasikan pasar masih optimistis permintaan logam akan kembali,” papar dia. Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama mengatakan, kinerja pertumbuhan ekonomi China di kuartal II 2023 sebenarnya menunjukkan tren yang positif. “Terbaru, pertumbuhan di kuartal II itu 6,3% YoY. Namun, ada krisis Evergrande yang masih berlangsung,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (24/8). Menurut Nafan, isu runtuhnya Evergrande sebenarnya merupakan isu klasik dan sudah berlangsung sejak tahun 2020. Namun, hingga hari ini, belum ada solusi dari pemerintah China untuk mengatasi krisis properti yang terjadi di negara itu.
Baca Juga: Perlambatan Ekonomi China Mekenakan Harga Logam Industri Hal itu pun menjadi sentimen negatif dan menjadikan harga komoditas global terjadi volatilitas. Namun, melihat kinerja di kuartal II, ekonomi China masih
resilient dan diharapkan sentimen negatif dari krisis properti bisa mereda. Sebab, di semester II ini ada katalis positif dari perbaikan perekonomian global. Jika mengacu pada IMF Economic Outlook, pertumbuhan ekonomi China ada di kisaran 5,2%, padahal di tahun 2022 pertumbuhannya ada di kisaran 3%. “Ini bisa menjadi sentimen positif bagi industri logam ke depannya,” tutur Nafan. Selain itu, kinerja komoditas nikel yang menurun juga dipengaruhi oleh faktor perekonomian China yang masih berusaha pulih. Sebab, saat ini China pun masih mengalami deflasi. Namun, jika emiten logam bisa menerapkan
good corporate governance (GCG), hal itu bisa meminimalisasi dampak penurunan harga logam.
Baca Juga: Harga Tembaga Berada di Jalur Penurunan Mingguan, Dipicu Data China dan Suku Bunga AS Ke depannya, kinerja industri logam bisa mengandalkan sentimen positif dari domestik. Salah satunya adalah pemerintah yang harus bisa merealisasikan MIND ID untuk mengambil alih saham INCO.
“Ini harus terealisasikan segera, karena kita harus bisa membangun ekosistem berbasis
electric vehicle (EV) di Tanah Air,” ungkap Nafan. Ezaridho merekomendasikan beli untuk
NCKL dengan target harga Rp 1.050 per saham-Rp 1.060 per saham,
ANTM dengan target harga Rp 2.150 per saham-Rp 2.170 per saham,
HRUM dengan target harga Rp 1.790 per saham-Rp 1.805 per saham, dan
MDKA dengan target harga Rp 3.600 per saham-Rp 3.630 per saham. Sementara, Nafan merekomendasikan
accumulate untuk
ANTM dengan target harga Rp 2.060 per saham-Rp 2.160 per saham dan
buy on weakness untuk INCO untuk Rp 6.325 per saham-Rp 6.925 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati