JAKARTA. Tidak semua harga produk pertanian surut. Salah satunya adalah harga minyak atsiri. Kalangan produsen minyak yang banyak digunakan untuk kosmetik tersebut mengatakan, belakangan ini, harga ekspor minyak atsiri mengalami kenaikan yang luar biasa. Bahkan, untuk beberapa jenis, kenaikan harga tersebut mencapai 100% bila dibanding tahun lalu.Misalnya saja, harga ekspor minyak pala saat ini mencapai US$ 60 per kg dari sebelumnya hanya US$ 26 - US$ 30 per kg. Kemudian minyak sereh juga naik dari US$ 4,5 per kg menjadi US$ 10. Sementara itu, jenis minyak atsiri lainnya yang laris adalah minyak nilam. Harganya sekarang US$ 40 per kg dari, melompat dari sebelumnya yang berkisar sekitar US$ 22 per kg.Menurut Toga Raja Manurung, Ketua Asosiasi Minyak Atsiri Indonesia, kenaikan harga tersebut terjadi karena faktor cuaca yang tahun lalu tidak begitu bagus, yaitu hujan tak menentu dan kadang kala terlalu panas. Akibatnya produksi tanaman-tanaman bahan baku minyak tersebut menjadi tidak menentu. Bahkan hingga hingga pertengahan April nanti, Manurung memprediksi, produksi tanaman-tanaman tersebut belum pulih. Sekedar catatan, Indonesia merupakan negara produsen minyak atsiri terbesar di dunia. Menurut Manurung, nilai ekspor minyak atsiri dari Indonesia mencapai sekitar US$ 100 juta per tahun. Sementara potensinya sendiri jauh lebih besar, yakni bisa mencapai US$ 500 juta per tahun. "Apalagi jika ada industri turunannya, ekspor kita bisa naik dua kali lipat," katanya. Adapun Ketua Umum Dewan Atsiri Indonesia (DAI) Wien Permadhi Gunawan mencatat, nilai ekspor minyak atsiri tahun 2009 sekitar US$ 150 juta. DAI juga mematok nilai ekspor itu naik sekitar 5% tahun 20010 ini. Soalnya, pemakaian minyak tersebut semakin luas. Selain industri farmasi, industri kosmetik dan spa juga meliriknya.Saat ini, pangsa pasar minyat atsiri Indonesia di pasar dunia, termasuk minyak cengkeh, mencapai 75% atau bahkan lebih. Namun, tidak mustahil, posisi tersebut akan digeser oleh negara lain, misalnya oleh China. Produksi beberapa jenis minyak atsiri sudah didominasi oleh China. Untuk minyak sereh misalnya, Indonesia hanya memproduksi sekitar 300 ton per tahun sedangkan China sudah meningkatkan produksinya mencapai 1.500 ton per tahun. Selain China, produsen lain berasal dari wilayah kepulauan di Timur Afrika seperti Uganda, Madagaskar, dan ZanzibarMasalahnya, Indonesia belum bisa mengolah minyak atsiri secara optimal dan ekspornya masih berupa bahan-bahan baku saja. Bahan baku minyak Atsiri antara lain diekspor ke Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa, selain di Asia sendiri. Bukan hanya di industri turunan atau industri hilir atsiri yang lemah, di hulunya pun, menurut Manurung, juga belum maksimal. Ia memberi contoh, saat ini, belum ada pengusaha yang menjamah minyak dari daun kemangi. Padahal, tanaman kemangi bisa dibudidayakan dengan mudah dan bisa tumbuh dengan sangat baik.Sebagai gambaran, kini, lahan pengembangan minyak nilam di Indonesia baru 29.000 hektare. Dari jumlah itu, sebanyak 16.544 hektare ada di Sumatera dan 12.112 hektare dikembangkan di Jawa. Sementara sisanya wilayah lain di Indonesia. Ancaman latah petani Namun, kondisi cuaca yang kurang mendukung mendera Indonesia sejak 2007. Ini sangat mengganggu pengembangan nilam di Indonesia. Dalam dua tahun belakangan, produksi nilam di Jawa meningkat, namun tidak demikian di Sumatera. Penyebabnya, selain faktor cuaca, perawatan nilam juga kurang berkesinambungan. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi tingkat produksi.
Harga Minyak Atsiri Terkerek Mumbul
JAKARTA. Tidak semua harga produk pertanian surut. Salah satunya adalah harga minyak atsiri. Kalangan produsen minyak yang banyak digunakan untuk kosmetik tersebut mengatakan, belakangan ini, harga ekspor minyak atsiri mengalami kenaikan yang luar biasa. Bahkan, untuk beberapa jenis, kenaikan harga tersebut mencapai 100% bila dibanding tahun lalu.Misalnya saja, harga ekspor minyak pala saat ini mencapai US$ 60 per kg dari sebelumnya hanya US$ 26 - US$ 30 per kg. Kemudian minyak sereh juga naik dari US$ 4,5 per kg menjadi US$ 10. Sementara itu, jenis minyak atsiri lainnya yang laris adalah minyak nilam. Harganya sekarang US$ 40 per kg dari, melompat dari sebelumnya yang berkisar sekitar US$ 22 per kg.Menurut Toga Raja Manurung, Ketua Asosiasi Minyak Atsiri Indonesia, kenaikan harga tersebut terjadi karena faktor cuaca yang tahun lalu tidak begitu bagus, yaitu hujan tak menentu dan kadang kala terlalu panas. Akibatnya produksi tanaman-tanaman bahan baku minyak tersebut menjadi tidak menentu. Bahkan hingga hingga pertengahan April nanti, Manurung memprediksi, produksi tanaman-tanaman tersebut belum pulih. Sekedar catatan, Indonesia merupakan negara produsen minyak atsiri terbesar di dunia. Menurut Manurung, nilai ekspor minyak atsiri dari Indonesia mencapai sekitar US$ 100 juta per tahun. Sementara potensinya sendiri jauh lebih besar, yakni bisa mencapai US$ 500 juta per tahun. "Apalagi jika ada industri turunannya, ekspor kita bisa naik dua kali lipat," katanya. Adapun Ketua Umum Dewan Atsiri Indonesia (DAI) Wien Permadhi Gunawan mencatat, nilai ekspor minyak atsiri tahun 2009 sekitar US$ 150 juta. DAI juga mematok nilai ekspor itu naik sekitar 5% tahun 20010 ini. Soalnya, pemakaian minyak tersebut semakin luas. Selain industri farmasi, industri kosmetik dan spa juga meliriknya.Saat ini, pangsa pasar minyat atsiri Indonesia di pasar dunia, termasuk minyak cengkeh, mencapai 75% atau bahkan lebih. Namun, tidak mustahil, posisi tersebut akan digeser oleh negara lain, misalnya oleh China. Produksi beberapa jenis minyak atsiri sudah didominasi oleh China. Untuk minyak sereh misalnya, Indonesia hanya memproduksi sekitar 300 ton per tahun sedangkan China sudah meningkatkan produksinya mencapai 1.500 ton per tahun. Selain China, produsen lain berasal dari wilayah kepulauan di Timur Afrika seperti Uganda, Madagaskar, dan ZanzibarMasalahnya, Indonesia belum bisa mengolah minyak atsiri secara optimal dan ekspornya masih berupa bahan-bahan baku saja. Bahan baku minyak Atsiri antara lain diekspor ke Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa, selain di Asia sendiri. Bukan hanya di industri turunan atau industri hilir atsiri yang lemah, di hulunya pun, menurut Manurung, juga belum maksimal. Ia memberi contoh, saat ini, belum ada pengusaha yang menjamah minyak dari daun kemangi. Padahal, tanaman kemangi bisa dibudidayakan dengan mudah dan bisa tumbuh dengan sangat baik.Sebagai gambaran, kini, lahan pengembangan minyak nilam di Indonesia baru 29.000 hektare. Dari jumlah itu, sebanyak 16.544 hektare ada di Sumatera dan 12.112 hektare dikembangkan di Jawa. Sementara sisanya wilayah lain di Indonesia. Ancaman latah petani Namun, kondisi cuaca yang kurang mendukung mendera Indonesia sejak 2007. Ini sangat mengganggu pengembangan nilam di Indonesia. Dalam dua tahun belakangan, produksi nilam di Jawa meningkat, namun tidak demikian di Sumatera. Penyebabnya, selain faktor cuaca, perawatan nilam juga kurang berkesinambungan. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi tingkat produksi.