KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan harga minyak dunia diliputi berbagai sentimen positif dan negatif. Namun analis percaya, harga minyak akan mencapai level baru pada kuartal selanjutnya. Mengutip data dari Bloomberg, di akhir kuartal pertama 2019, harga minyak jenis west texas intermediate (WTI) di bursa New York Mercantile (NYMEX) kontrak pengiriman Mei 2019, tercatat menguat 1, 42% di level US$ 60,14 per barel. Sementara minyak jenis brent di bursa ICE New Castle juga menguat sebesar 0,72% menjadi level US$ 67,58 per barel. Sebelumnya brent diperdagangkan di level US$ 67,10 per barel.
Analis Asia Trade Point Futures, Deddy Yusuf Siregar menyatakan perkembangan perundingan perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) yang terjadi pekan lalu, masih menjadi kunci utama optimisme pasar komoditas, termasuk minyak dunia. Pernyataan Presiden AS, Donald Trump, melalui media sosial Twitter jika Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) harus menambah pasokan minyak, sebab harga saat ini dianggap sudah terlalu tinggi, ternyata tidak terlalu dihiraukan pasar. "Pasar lebih fokus kepada perdamaian yang terjalin dari perundingan perang dagang AS dan China. Sebab, dengan berakhirnya perang dagang, diharapkan menjadi momentum kebangkitan perekonomian global yang saat ini sedang melesu," jelas Deddy kepada Kontan.co.id, Jumat (29/3). Lebih lanjut, Deddy menjabarkan pergerakan harga minyak saat ini menghadapi beberapa sentimen penting. Salah satunya adalah keputusan OPEC untuk memangkas produksi minyak sampai satu semester sebesar 1 juta barel per hari-1,3 juta per barel per hari. Keputusan yang telah dijalankan sejak akhir tahun 2018 tersebut, nyatanya mampu mengembalikan
rebound harga minyak sebesar 32%, setelah jatuh 40% tahun lalu. Harga minyak yang sudah menyentuh US$ 60,00 per barel ini, bahkan dianggap sebagai pencapaian terbaik sekaligus menjadikan kuartal I 2019, sebagai kuartal terbaik bagi harga minyak. "Dengan demikian, pihak OPEC akan mengevaluasi lagi pada Juli mendatang apakah pemangkasan ini dilanjutkan sampai akhir tahun atau dihentikan," lanjut Deddy. Sentimen selanjutnya adalah sanksi yang diberikan AS kepada Venezuela dan Iran, sebagai dua negara penghasil minyak. Dengan sanksi ini, pasokan minyak di pasar makin terbatas sehingga mampu mengangkat harga minyak lebih tinggi. Tapi, dari sentimen tersebut pula, hal negatif perlu diwaspadai sebab AS berusaha mengisi kekosongan suplai minyak dengan menggenjot produksi minyaknya. Bahkan, AS mampu memproduksi lebih dari 12 juta barel per hari. US Energy Information Administration (EIA) bahkan pernah meramal jika ke depannya, AS dapat menjadi salah satu negara penghasil minyak seperti Arab Saudi dan Rusia dengan jumlah produksi minyak per hari mencapai 23 juta barel per hari. "Hal ini didasarkan pula pada jumlah data sumur pengeboran tahun 2019 yang mencapai lebih dari 800 unit. Sementara tahun lalu, jumlah pengeboran aktif hanya ada 700 unit saja. Jika suplai bertambah dari produksi ini, harga minyak akan terkoreksi," jelasnya. Deddy melihat, sampai akhir kuartal II, harga minyak masih akan konsolidasi. Dibandingkan dengan akhir kuartal IV tahun lalu, saat ini harga minyak jauh lebih stabil namun pasar masih bertanya-tanya mengenai arah yang tepat ke depannya.
Dengan demikian, harga minyak diprediksi akan tertahan di level US$ 60,00 per barel. "Jika perundingan dagang menghasilkan perdamaian dan kerjasama dagang, tak menutup kemungkinan harga minyak menyentuh level US$ 70,00 per barel," ujarnya. Secara teknikal, harga minyak dunia saat ini berada di atas MA 50 dan MA 100 yang mengindikasikan penguatan. RSI di area positif 70, stochastic 79,77. Sedangkan MACD berada di area positif 12,26. Untuk pergerakan harga minyak pada Senin besok, Deddy memprediksi di rentang US$ 58,18 per barel-US$ 60,40 per barel. Sementara sepekan ke depan berada di level US$ 56,90 per barel-US$ 61,40 per barel. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati