Harga Minyak Bisa Mengerek Inflasi, Suku Bunga Akan Tetap Tinggi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Baru saja inflasi diramal turun, harga minyak kembali bergeliat dan bergerak di level tertinggi dalam hampir 1,5 tahun terakhir. Lonjakan harga minyak bisa merusak siklus penurunan suku bunga yang dinanti-nanti di tahun depan.

Harga minyak WTI di Amerika Serikat (AS) sudah kembali bergerak di atas level US$ 90 per barel. Sedangkan harga minyak acuan internasional Brent pekan ini ditutup pada US$ 93,27 per barel. Harga minyak menuju kenaikan kuartalan terbesar sejak invasi Rusia ke Ukraina pada kuartal pertama tahun 2022.

Awal pekan ini, Citi memperkirakan bahwa harga Brent bisa melebihi US$ 100 per barel tahun ini. Dalam wawancara dengan Bloomberg News, Chief Executive Chevron Mike Wirth juga mengatakan, harga minyak akan melampaui US$ 100 per barel.


Kenaikan harga minyak baru-baru ini bisa memperlambat laju penurunan inflasi. Menurut hitungan Oxford Economics, jika harga minyak naik ke US$ 95 per barel hingga akhir tahun depan, prediksi inflasi berpotensi naik 0,4% dari prediksi awal inflasi tahun 2025.

Baca Juga: Harga Minyak Turun Pekan Ini, Ada Kekhawatiran Permintaan Imbas Larangan Ekspor Rusia

"Kenaikan harga minyak lebih tajam ke U$ 110 per barel akan menaikkan inflasi global besar 0,9% menjadi 5,1% rata-rata tahun depan, hanya sedikit di bawah prediksi tahun ini 6,1%," ungkap Ben May, Director of Global Macro Research Oxford Economics dalam laporan, Jumat (15/9).

Tetapi dampak kenaikan harga minyak yang terjadi saat ini akan lebih terbatas. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) juga akan mengurangi tekanan atas kenaikan inflasi, sehingga arah kebijakan suku bunga di Amerika Serikat (AS) dan Eropa tidak akan berbeda jauh.

Pekan ini, bank-bank sentral menahan suku bunga acuan. Tetapi, potensi kenaikan suku bunga lebih lanjut masih ada. Bank sentral AS Federal Reserve pun menyebut potensi suku bunga tinggi akan lebih lama. 

Baca Juga: RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan Salah Sasaran

Bahkan ada prediksi bahwa suku bunga acuan AS belum akan turun hingga tahun 2026. Artinya, bank-bank sentral menganggap inflasi akan tetap tinggi. Pejabat Federal Reserve AS memperingatkan kenaikan suku bunga lebih lanjut, bahkan setelah pemungutan suara untuk mempertahankan suku bunga acuan federal fund tetap stabil pada pertemuan minggu ini.

“Inflasi masih terlalu tinggi, dan saya memperkirakan akan tepat bagi FOMC untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut dan mempertahankannya pada tingkat yang ketat untuk beberapa waktu,” kata Gubernur Fed Michelle Bowman kepada Reuters.

Potensi kenaikan harga energi lebih lanjut, katanya, merupakan risiko khusus yang dia pantau. Suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan biaya pinjaman, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi permintaan minyak.

Baca Juga: The Fed Tahan Suku Bunga, Investor Disarankan Berhati-hati hingga Akhir Tahun

ASIA

Tak cuma efek kenaikan harga minyak, potensi inflasi Asia diperparah oleh pelemahan nilai tukar. Meski tidak signifikan, pelemahan nilai tukar regional Asia bisa menambah potensi tekanan inflasi, terutama dari sisi harga pangan. 

"Sangat mungkin potensi pemangkasan suku bunga lebih awal akan ditunda," kata Arup Raha, Chief Asia Economist di Oxford Economics dalam laporan yang dirilis Senin (18/9).

Angka inflasi di Asia telah turun, termasuk inflasi inti. Thailand dan Vietnam telah mencatat inflasi yang berada di bawah kisaran target bank sentral. 

Tingkat inflasi Indonesia juga sudah berada di rentang kisaran target bank sentral. Oxford Economics memperkirakan, inflasi konsumen di Asia Tenggara tahun ini akan berada di 3,5%, turun dari 4,6% di tahun lalu dan turun lagi ke 2,4% di tahun depan.

Tingkat inflasi di Asia kemungkinan akan sulit turun seperti sebelum pandemi. Sebab, masih ada bottleneck pada sisi suplai yang perlu waktu untuk diurai. Risiko jangka pendek inflasi berasal dari kenaikan harga pangan dan harga energi. Harga pangan meningkat terutama karena efek terkait El Nino. 

"Kami memperkirakan Indonesia, Korea Selatan, dan India akan menyusul China dan Vietnam untuk memangkas suku bunga di awal tahun depan, sedangkan Singapura akan bergerak di posisi netral," kata Raha.

Baca Juga: Harga Minyak Naik, Larangan Ekspor Bahan Bakar Rusia Memicu Kekhawatiran Pasokan

INDONESIA

Bank Indonesia (BI) turut mengingatkan bahaya kenaikan harga minyak yang bisa memengaruhi peningkatan inflasi. Deputi Gubernur BI Aida S. Budiman menunjukkan, harga minyak di Indonesia yang biasa diukur dari harga Indonesian Crude Price (ICP) tercatat meningkat 77% ytd. 

"Kalau naik terus menerus, ini akan berdampak pada inflasi karena akan memengaruhi harga-harga barang lain," terang Aida dalam konferensi pers, Kamis (21/9). 

Dampak kenaikan harga minyak, terutama akan langsung terasa pada harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi. Bila melihat pada tahun lalu, saat harga minyak mendidih, pemerintah kemudian menaikkan harga BBM non subsidi dan bahkan harus menaikkan harga BBM bersubsidi. 

Akibatnya, inflasi melambung tinggi. Bahkan, kenaikan harga BBM ini kemudian memberi dampak rambatan ke sektor-sektor lainnya. Tetapi Aida menambahkan bahwa kenaikan harga ICP ini masih sesuai dalam perhitungan BI. Sehingga, ia yakin inflasi masih akan tetap berada di kisaran sasaran BI. 

Dari hitungan BI, inflasi akan berada di kisaran 3% pada akhir tahun 2023, atau tetap berada dalam kisaran sasaran 2%-4%. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati