KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tak sempat bertahan lama, harga minyak kembali tertekan pada perdagangan awal pekan ini (29/7). Mengacu data
Bloomberg, pukul 15:26 WIB harga minyak West Texas intermediate (WTI) untuk pengiriman September 2019 di New York Mercantile Exchange sempat turun ke level terendah US$ 55,91 per barel. Untungnya pada 19:23 WIB, harga minyak mulai merangkak naik lagi 0,12% ke level US$ 56,27 per barel.
Analis Finex Berjangka Nanang Wahyudi menilai, pergerakan harga minyak saat ini masih terjebak dalam range terbatas. Ini karena, pelaku pasar cenderung mengurangi eksposure di pasar komoditas.
Baca Juga: Harga minyak jatuh di tengah kekhawatiran prospek pertumbuhan ekonomi global Meningkatnya kecemasan pelaku pasar terhadap risiko perlambatan ekonomi global masih menghantui pasar saat ini. Apalagi, risiko tersebut semakin bertambah usai terpilihnya Perdana Menteri Inggris yang baru yakni Boris Johnson. Asal tahu saja, Boris yang juga mantan Menteri Luar Negeri di era Theresa May dikenal sebagai sosok euroskeptik atau anti Brexit. Boris sempat berjanji Inggris akan keluar dari Uni Eropa pada batas waktu 31 Oktober, "Deal or No-Deal". "Kemungkinan besar No Deal Brexit. Bila ini terjadi sangat memukul ekonomi Inggris, karena ekspor ke Uni Eropa akan lebih sulit akibat pengenaan bea masuk," jelas Nanang kepada Kontan.co.id, Senin (29/7).
Baca Juga: Besok, China dan Amerika Serikat (AS) memulai lagi perundingan perang dagang Jika kondisi tersebut benar terjadi, artinya No-Deal Brexit membuat perjanjian perdagangan anyara Inggris dan Uni Eropa bakal batal demi hukum. Faktor tersebut yang membuat pelaku pasar meyakini perlambatan ekonomi dunia semakin kuat. Di sisi lain, investor juga sedang fokus pada pertemuan bank sentral, khususnya The Federal Reserve AS (The Fed), yang diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuannya. Sekadar mengingatkan, pekan ini terdapat dua pertemuan moneter bank sentral utama yaitu The Fed dan juga Bank Sentral Inggris (BOE), di mana pekan ini keduanya diperkirakan bakal melonggarkan kebijakan moneternya. Di samping itu, pembicaraan akhir pekan antara Iran dan negara-negara besar secara umum berakhir dengan catatan positif, sehingga ketegangan di Timur Tengah cenderung berkurang. Meskipun, perkembangan ketegangan konflik kawasan Teluk, tetap tinggi di sekitar Selat Hormuz.
Baca Juga: Simak data dan agenda penting yang jadi perhatian pasar selama pekan ini Selat Hormuz sendiri merupakan jalur minyak paling penting di dunia. Ketegangan meningkat akibat Iran menolak untuk melepaskan kapal tanker berbendera Inggris yang sempat direbutnya, tetapi mereka justru memberikan akses konsuler kepada 18 anggota awak India. Sementara Denmark menyambut proposal pemerintah Inggris untuk memastikan pengiriman tetap aman melalui selat. Sementara itu, data perekonomian China yang baru saja dirilis dan menunjukkan adanya perlambatan ekonomi, dinilai Nanang bisa memberikan dampak negatif bagi pergerakan harga minyak ke depan. Ditambah lagi, secara teknikal beberapa indikator menunjukkan tren
bearish. "Saat ini harga berada di bawah moving13 dan moving26, di mana kedua moving tersebut sudah terjadi perpotongan ke bawah, penurunan minyak masih bisa terjadi. Namun parameter indikator lainnya seperti stochastic yang bergerak naik, dapat menahan tekanan," jelasnya.
Baca Juga: Harga minyak terkoreksi karena aksi Trump buka front baru jelang perundingan dagang Untuk indikator teknikal seperti RSI, Nanang mengatakan saat ini posisinya masih berada di bawah area 50, tepatnya 46. Sedangkan MACD berada di zona negatif, sehingga mayoritas indikator menunjukkan tren
bearish. Dengan demikian, untuk perdagangan Selasa (30/7) Nanang merekomendasikan untuk
sell, dengan perkiraan
resistance di US$ 57,03 per barel, US$ 56,64 per barel, dan US$ 56,25 per barel. Sedangkan untuk level
support berada di kisaran US$ 55,86 per barel, US$ 55,47 per barel, dan US$ 55,08 per barel. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto