Harga Minyak Ditutup Anjlok 2%, Tertekan Kekhawatiran Ekonomi di AS dan China



KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Harga minyak anjlok lebih dari 2% karena kekhawatiran bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di Amerika Serikat (AS) dan China dapat mengurangi permintaan energi, terutama setelah harga melonjak lebih dari 7% selama tiga hari sebelumnya.

Selasa (27/8), harga minyak berjangka jenis Brent untuk kontrak pengiriman Oktober 2024 ditutup turun US$ 1,88, atau 2,3% menjadi US$ 79,55 per barel.

Sejalan, harga minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Oktober 2024 ditutup melemah US$ 1,89, atau 2,4% ke US$ 75,53 per barel.


"Penurunan harga hari ini, meskipun signifikan, masih berada dalam kisaran koreksi yang normal dan wajar setelah kenaikan tiga hari yang substansial sebesar $6 per barel," kata analis di firma penasihat energi Ritterbusch and Associates dalam sebuah catatan.

Pedagang teknis mencatat bahwa harga kedua kontrak tersebut turun setelah gagal menembus resistance di sekitar moving average 200 hari pada hari Senin (26/8).

Dengan bensin berjangka AS masih diperdagangkan mendekati level terendah dalam enam bulan, spread 321-crack CL321-1=R, yang mengukur margin laba penyulingan, bertahan mendekati level terendah sejak Februari 2021 untuk hari kedua berturut-turut.

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Tergelincir Selasa (27/8), Pasca Lonjakan Akibat Gangguan di Libya

"Jika penyuling tidak menghasilkan uang dari bensin dan sulingan, maka penyuling akan membeli lebih sedikit minyak mentah untuk membuat bensin dan sulingan. Barel yang tidak dibeli akan dikirim ke penyimpanan," kata Bob Yawger, Director of Energy Futures di Mizuho, ​​dalam sebuah catatan.

Di AS, kepercayaan konsumen naik ke level tertinggi dalam enam bulan pada bulan Agustus, tetapi warga Amerika menjadi lebih cemas tentang pasar tenaga kerja setelah tingkat pengangguran melonjak mendekati level tertinggi dalam tiga tahun sebesar 4,3% bulan lalu.

Peningkatan pengangguran tersebut membantu meningkatkan ekspektasi bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga bulan depan. Suku bunga yang lebih rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak.

UBS Global Wealth Management memperkirakan peluang resesi AS sebesar 25%, naik dari 20% sebelumnya, dengan mengutip angka-angka lemah dalam laporan ketenagakerjaan bulan Juli.

Sementara itu, di Jerman, ekonomi menyusut pada kuartal kedua.

Goldman Sachs memangkas perkiraan rata-rata harga Brent untuk tahun 2025 dan kisaran harga sebesar US$ 5 per barel, dengan alasan permintaan yang lebih lambat di China. Bank tersebut mengurangi kisaran harga Brent menjadi US$ 70-US$ 85 per barel, dan perkiraan rata-rata harga Brent 2025 menjadi US$ 77 per barel dari US$ 82.

Kekhawatiran tentang ekonomi di AS dan China mengimbangi berita positif dari Libya dan Timur Tengah yang dapat mengurangi pasokan.

Harga minyak naik tajam selama beberapa hari terakhir karena potensi penutupan ladang minyak Libya yang dapat membatasi produksi anggota OPEC tersebut sekitar 1,2 juta barel per hari (beberapa di antaranya telah dikurangi), dan ketegangan lain di Timur Tengah menyusul serangan balik antara Israel dan kelompok Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon dalam beberapa hari terakhir.

Baca Juga: Wall Street Rebound: Dow Cetak Rekor Penutupan Tertinggi Hari Kedua Berturut-turut

"Rasa takut di Timur Tengah tampaknya telah hilang setelah Israel menggagalkan serangan rudal Hizbullah berskala besar. ... Menarik untuk dicatat bahwa Iran tidak turun tangan untuk membantu mempertahankan ... Hizbullah," kata Yawger dari Mizuho.

Sementara itu, data mingguan penyimpanan minyak AS akan dirilis dari kelompok perdagangan American Petroleum Institute pada hari Selasa dan Badan Informasi Energi AS pada hari Rabu.

Data tersebut diharapkan menunjukkan bahwa perusahaan energi menarik minyak mentah dari penyimpanan AS minggu lalu untuk kedelapan kalinya dalam sembilan minggu.

Namun, analis memperkirakan penurunan penyimpanan minyak mentah minggu lalu hanya sebesar 2,3 juta barel selama minggu yang berakhir pada 23 Agustus. 

Jika benar, penarikan tersebut akan lebih kecil dari penurunan sebesar 10,6 juta barel selama minggu yang sama tahun lalu dan penurunan rata-rata sebesar 6,3 juta barel selama lima tahun terakhir (2019-2023).

Editor: Anna Suci Perwitasari