KONTAN.CO.ID - HOUSTON. Harga minyak memantul dari posisi terendah pada sesi awal pekan, untuk diperdagangkan hampir datar dalam sesi yang bergejolak.
Rebound ini terjadi setelah Arab Saudi mengatakan bahwa produksi OPEC+ dapat dipangkas jika kesepakatan nuklir yang dapat mengembalikan minyak Iran terjadi. Senin (22/8), harga minyak mentah berjangka jenis Brent untuk kontrak pengiriman Oktober 2022 ditutup di level US$ 96,48 per barel setelah turun 24 sen, atau 0,25%. Sebelumnya, Brent sempat jatuh 4,5% dan mematahkan kenaikan tiga hari berturut-turut. Sejalan, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman September 2022, yang berakhir pada hari Senin, turun 54 sen atau 0,6% dan ditutup di US$ 90,23 per barel. Kontrak Oktober yang lebih aktif turun 4 sen atau 0,03% ke US$ 90,41 per barel.
Jelang penutupan, Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan, OPEC+ memiliki komitmen, fleksibilitas, dan sarana untuk menghadapi tantangan dan memberikan panduan termasuk memotong produksi kapan saja dan dalam bentuk yang berbeda, kantor berita negara SPA.
Baca Juga: Harga Minyak Turun Pada Senin (22/8) Pagi, Investor Menimbang Penambahan Pasokan Iran Hal itu merupakan tanggapan dari rencana para pemimpin Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Jerman yang membahas upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 Jika kesepakatan tersebut kembali bergulir, dapat memungkinkan minyak Iran, yang saat ini terkena sanksi, untuk kembali ke pasar global. Departemen Luar Negeri AS menambahkan, kesepakatan nuklir sekarang lebih dekat daripada dua minggu lalu. Di awal sesi, kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga AS yang agresif dapat menyebabkan perlambatan ekonomi global dan penurunan permintaan bahan bakar telah menekan harga. "Fundamental jangka pendek tampaknya lebih tertahan sampai kita melihat beberapa indikasi ekonomi positif baik dari AS atau China, yang tampaknya tidak mungkin," kata Dennis Kissler,
Senior Vice President of Trading di BOK Financial. Berdasarkan jajak pendapat
Reuters, para ekonomi memperkirakan Federal Reserve akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada pertemuan September di tengah ekspektasi inflasi telah memuncak dan meningkatnya kekhawatiran resesi. Sementara itu, investor akan mencermati komentar Ketua The Fed Jerome Powell ketika ia berpidato di konferensi bank sentral global tahunan di Jackson Hole, Wyoming, pada Jumat (26/8). Juga menekan harga minyak, kekhawatiran atas permintaan bahan bakar yang melambat di China, importir minyak terbesar dunia, sebagian karena krisis listrik di barat daya. Terlebih, China memangkas suku bunga pinjaman pada hari Senin sebagai bagian dari langkah-langkah untuk menghidupkan kembali ekonomi yang tertatih-tatih oleh krisis properti dan kebangkitan kasus COVID-19.
Baca Juga: Ekonomi Arab Saudi Tumbuh 11,8% di Kuartal II-2022 Indeks dolar AS naik ke level tertinggi dalam lima minggu pada hari Senin.
The greenback yang lebih kuat umumnya
bearish karena membuatnya lebih mahal bagi pembeli dengan mata uang lain di pasar minyak yang diperdagangkan dalam denominasi dolar AS. Tingginya harga gas alam yang diperburuk oleh berkurangnya pasokan dari Rusia memperkuat permintaan minyak, kata Ole Hansen,
Head of Commodity Strategy di Saxo Bank. Pasokan di seluruh dunia tetap relatif ketat, dengan operator pipa yang memasok sekitar 1% minyak global melalui Rusia mengatakan akan mengurangi produksi lagi karena peralatan yang rusak. OPEC+ memproduksi 2,892 juta barel per hari (bph) di bawah target mereka pada Juli, dua sumber dari kelompok produsen mengatakan, karena sanksi terhadap beberapa anggota seperti Rusia dan rendahnya investasi oleh negara lain menghalangi kemampuannya untuk meningkatkan produksi.
Editor: Anna Suci Perwitasari