KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediate (WTI) terpantau berada di level US$ 66,70 per barel pada Kamis (2/12) atau menguat 1,7% dari penutupan sebelumnya. Penguatan tersebut menjadi kabar positif bagi WTI yang dalam sebulan terakhir berada dalam tekanan. Asal tahu saja, harga minyak WTI sudah terjun bebas sebesar 21,11% dari level tertingginya di US$ 84,15 per barel pada 9 November 2021 lalu. Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf menerangkan, pemicu awal koreksi harga minyak dunia adalah aksi
profit taking akibat penguatan harga yang sudah terlalu tajam. Namun, tak berselang lama, minyak dunia dilanda sentimen negatif yang kemudian membuat harganya semakin turun tajam.
Sentimen negatif pertama datang dari sikap para konsumen terbesar minyak dunia seperti Amerika Serikat, China, Korea Selatan, dan India yang hendak melepaskan minyak dari cadangan strategisnya. Hal ini membuat pasokan minyak dunia jadi berlebih dan harganya pun menjadi terkoreksi.
Baca Juga: Tiga indikator perekonomian Indonesia mengalami perbaikan secara signifikan “Ditambah lagi, kini sedang ada persebaran Covid-19 varian omicron yang menimbulkan kekhawatiran berbagai negara akan kembali mengetatkan pembatasan aktivitas. Tak pelak, muncul ketakutan permintaan minyak dunia akan melambat,” ujar Alwi ketika dihubungi Kontan.co.id, Kamis (2/12). Dalam jangka pendek, Alwi meyakini harga minyak dunia masih akan berada dalam tekanan. Faktornya adalah perubahan sikap The Fed yang mendadak hawkish dengan tidak lagi menyebut inflasi yang terjadi hanya bersifat sementara. Pernyataan terbaru Jerome Powell yang menyebut inflasi tinggi akan bertahan disebut telah memicu kekhawatiran di pasar. Pasalnya, ditakutkan The Fed akan mempercepat proses tapering yang akan diiringi dengan kenaikan suku bunga AS yang lebih cepat. “Pada akhirnya, ini membuat aset berisiko kurang diminati, padahal harga minyak dunia punya korelasi dengan aset berisiko. Dolar AS yang ikut menguat turut semakin menekan harga minyak dunia,” tambahnya.
Baca Juga: Harga minyak WTI ambles lebih dari 20% sejak sentuh level tertinggi, ini penyebabnya Padahal, secara outlook, ia meyakini minyak dunia punya prospek yang positif seiring pembukaan aktivitas masyarakat dan pulihnya ekonomi akan mengangkat permintaan minyak dunia. Sayangnya, penyebaran varian omicron jadi penghambat dan membuat pelaku pasar cenderung
wait and see.
Menurut Alwi, harga minyak pada tahun depan akan ditentukan oleh seperti apa perkembangan penyebaran varian omicron. Jika ternyata penyebarannya bisa diantisipasi dan dampak yang ditimbulkan tidak signifikan, harga minyak dunia bisa menguat. Namun jika sebaliknya, tren negatif akan kembali berlanjut. “Untuk skenario omicron terkendali, harga minyak dunia bisa bergerak melebihi US$ 70 per barel. Tapi jika sebaliknya, maka level US$ 60 per barel akan jadi level
support psikologisnya,” pungkas Alwi.
Baca Juga: Harga minyak goreng dan cabai melonjak menjelang Nataru Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati