KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selain batubara, harga minyak mentah juga mendaki tahun ini. Mengutip data
Bloomberg, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) berada di level US$ 71,06 per barel. Sejumlah emiten yang bergerak di sektor minyak dan gas juga mencatatkan kinerja yang oke sepanjang semester I-2021. Salah satunya, emiten penyalur bahan bakar minyak (BBM), PT AKR Corporindo Tbk (
AKRA). AKRA membukukan laba bersih senilai Rp 550 miliar di semester I 2021 lalu. Laba ini tumbuh 28% dibandingkan dengan torehan laba pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp432 miliar.
Tumbuhnya laba AKRA tidak terlepas dari naiknya pendapatan. Konstituen Indeks
Kompas100 ini membukukan pendapatan senilai Rp 10,70 triliun, naik 7,04% dari realisasi pendapatan di semester pertama tahun lalu yang hanya Rp 10,01 triliun.
Baca Juga: Upaya AKR Corporindo (AKRA) kejar pertumbuhan kinerja 15% di 2021 Salah satu penyumbang terbesar pendapatan dari segmen perdagangan dan distribusi. Penjualan BBM AKRA mencapai Rp 7,64 triliun atau 71% dari total pendapatan AKRA. Hal ini menjadikan segmen perdagangan distribusi dan peningkatan kontribusi JIIPE menjadi faktor utama pertumbuhan pendapatan AKRA. Dalam paparan publik yang digelar belum lama ini, manajemen AKRA melihat outlook yang positif pada segmen perdagangan dan distribusi. Hal ini sejalan dengan perbaikan ekonomi, peningkatan aktivitas pertambangan serta hilirisasi, dan ekspansi kimia dasar. Outlook segmen BBM cukup positif seiring dengan berkembangnya industri pertambangan, perkebunan, dan segmen ritel. Berbeda dengan AKAR, kenaikan harga minyak dunia tidak langsung berimbas kepada kinerja PT Elnusa Tbk (
ELSA). Serkretaris Perusahaan ELSA Ari Wijaya menyebut, kenaikan harga minyak dunia tidak serta merta mengerek harga jasa ELSA yang ditawarkan kepada perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). “Pengalaman kami selama ini seperti itu. Berbeda jika harga minyak dunia turun, maka hampir dipastikan harga jasa kami dikoreksi oleh KKKS,” terang Ari saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (20/9). Adapun per Juni 2021, anak usaha PT Pertamina ini telah merealisasikan kontrak konsolidasi hingga 75% dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2021 atau setara dengan Rp 6,5 triliun. Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijaya menilai, kenaikan harga minyak mentah dunia ini ternyata tidak serta merta mendongkrak kinerja emiten penghasil minyak di Indonesia. Melansir laporan keuangan di kuartal II 2021, dari sejumlah emiten sektor migas Indonesia, AKRA menjadi salah satu yang mampu menorehkan pertumbuhan pendapatan. Frankie menilai, pertumbuhan pendapatan AKRA belum terlalu signifikan dibanding dengan periode yang sama tahun lalu yakni sebesar 7%. “Pendapatan AKRA juga ditopang oleh diversifikasi lini bisnis seperti jasa distribusi dan pergudangan,” terang Frankie kepada Kontan.co.id, Senin (20/9). Sementara untuk emiten migas lainnya seperti ELSA, PT Medco Energi Internasional Tbk (
MEDC), dan PT Radiant Utama Interinsco Tbk (
RUIS) justru membukukan penurunan pendapatan dan laba bersih. “Jadi kenaikan harga minyak ini tidak diimbangi oleh pertumbuhan permintaan minyak, yang akhirnya kenaikan minyak ini tidak serta merta mendongkrak pendapatan rata-rata emiten minyak,” kata Frankie. Frankie menilai, memanasnya harga minyak saat ini utamanya disebabkan oleh kebijakan OPEC+ yang sepakat untuk memangkas produksi minyaknya. Berkaca pada tahun 2019 harga minyak mentah dunia mengalami penurunan yang cukup tajam. Dengan pembatasan produksi minyak mentah, tentu akan berdampak terhadap supply minyak dunia yang menyebabkan kenaikan harga minyak mentah dunia. Selain itu, harga minyak yang naik juga disebabkan oleh ekspetasi akan pemulihan ekonomi global dimana adanya keyakinan bahwa Covid-19 dapat tertangani tahun ini yang bakal menaikan geliat industri dan mobilitas masyarakat dunia. Hal ini tentu bakal menaikan konsumsi BBM. Ditambah, industri China selaku salah satu importir terbesar minyak di dunia sudah mulai pulih. Namun, di semester kedua ini, Frankie memprediksi, emiten produsen minyak memiliki peluang untuk mendulang pendapatan jika memang geliat ekonomi bisa berjalan maksimal sebelum penutupan tahun. Hanya saja, harga minyak yang tinggi bisa menjadi pertimbangan para pelaku usaha untuk melakukan efesiensi dan mencari energi alternatif lainnya. Dus, baiknya harga minyak harus disesuaikan dengan tingkat permintaan dan menimbang bahwa ekonomi global yang belum pulih total pasca pandemi. "Jadi sentimen ini bisa saja membuat saham-saham emiten minyak masih lesu di paruh kedua tahun ini," imbuh Frankie. Analis BRIDanareksa Sekuritas Ignatius Teguh Prayoga menyebut, salah satu pendorong kinerja AKRA adalah menguatnya harga sejumlah komoditas (hard commodity) sejak awal tahun. Naiknya harga komoditas meningkatkan ekspektasi produksi batubara.
Selain itu, ada pula pelonggaran pembatasan kegiatan bagi perusahaan manufaktur. Kedua hal ini diyakini akan mendorong segmen penjualan bahan bakar dan bahan kimia milik AKRA. Prayoga memperkirakan, volume penjualan bahan bakar dan bahan kimia AKRA akan tumbuh masing-masing 10,4% dan 14,3% secara year-on-year (yoy) di tahun ini. Namun, kinerja AKRA tidak hanya bergantung pada segmen distribusi dan perdagangan. Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) milik AKRA yang telah memperoleh status kawasan ekonomi khusus (KEK) juga akan mendorong kinerja AKRA. Sebab, status KEK ini memberikan lebih banyak manfaat kepada klien JIIPE dengan adanya sejumlah insentif fiskal dan non-fiskal. BRIDanareksa Sekuritas mempertahankan rekomendasi beli saham AKRA dengan target harga yang lebih tinggi yakni Rp 4.450 dari sebelumnya Rp 3.800.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat