KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah di pasar global atau West Texas Intermediate (WTI) tercatat naik. Kenaikan harga minyak ini dapat memperlebar jurang defisit anggaran karena konsumsi yang naik, sementara produksi minyak menurun. Harga minyak mentah WTI di Bursa New York ditutup US$ 86,69 per barel pada Selasa (5/9) untuk kontrak Oktober 2023, tertinggi dalam satu tahun terakhir. Di perdagangan intraday, harga minyak WTI nyaris menyentuh level psikologis US$ 90 per barel. Pada hari yang sama, harga minyak mentah Brent juga sudah ditutup di level US$ 90,04 per barel.
Analis Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna mengatakan, kenaikan harga minyak dunia akan berimbas pada anggaran negara. Putra menjelaskan, hal itu sebagaimana yang dapat terlihat dalam Nota Keuangan RAPBN 2024 bahwa kenaikan harga minyak US$ 1 per barrel memiliki imbas anggaran sekitar Rp 6,5 triliun. "Yang juga perlu dicatat, angka ini terus meningkat dibanding tahun sebelumnya, dan ke depannya jurang defisit ini akan semakin besar," kata Putra kepada Kontan.co.id, Kamis (6/9).
Baca Juga: Asumsi ICP di RAPBN 2024 Naik Jadi US$ 82/Barel, Lifting Jadi 635.000 Barel Per Hari Berdasarkan asumsi makro APBN 2024 terbaru, harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) dinaikkan pemerintah dari US$ 80 per barel menjadi US$ 82 per barel. Asumsi ini mulai menjauh dari tren harga minyak mentah global yang terus menanjak. Agar APBN tetap terkendali, Putra mengimbau pemerintah untuk melakukan perubahan struktural permintaan bahan bakar minyak (BBM) sebagai solusi jangka menengah dan panjang. Terlebih produksi minyak Indonesia yang selalu turun di kisaran 4% hingga 5% dari tahun ke tahun. Karenanya, pemerintah perlu merespons ancaman tersebut dengan alternatif lain, seperti melalui transportasi publik maupun adopsi kendaraan listrik. Selain itu, juga diperlukan komitmen untuk mengendalikan pertumbuhan kendaraan, serta usaha peningkatan kilang dan strategic reserve. Putra juga bilang, rencana adopsi bioetanol juga harus disikapi hati-hati oleh pemerintah karena ketersediaannya yang belum jelas. Asal tahu saja, PT Pertamina tengah mengkaji untuk meningkatkan kadar oktan BBM subsidi Pertalite (RON 90) menjadi RON 92, dengan mencampur Pertalite dan etanol 7% (E7), sehingga menjadi Pertamax Green 92. Artinya, konsumsi bioethanol akan semakin masif jika rencana itu akan diberlakukan. "Harus ada kejelasan siapa yang menanggung bila ada disparitas harga karena produk tersebut (bioetanol) tidak murah. Harga dari komoditas tersebut juga kerap berfluktuasi," imbuhnya. Putra mewanti, ke depannya dunia akan berhadapan dengan periode “peak demand” minyak yang dapat membuat kesimpangsiuran investasi jangka panjang. Bersamaan dengan itu, volatilitas juga dapat meningkat bila investasi suplai menurun lebih cepat dari demand. Lebih lanjut, Putra juga memperingatkan agar pemerintah turut menaruh perhatian pada perusahaan minyak China, Sinopec. China diperkirakan tidak lama lagi akan mengalami puncak konsumsi bensin, yang juga akan mulai melandai, dengan salah satu faktor terbesarnya yakni adopsi kendaraan listrik.
Maka itu, menurutnya Indonesia harus menanggapi hal tersebut dengan serius, karena tidak banyak harapan produksi minyak bisa meningkat. "Meskipun harga minyak ada potensi melandai, pemerintah tidak boleh lalai dalam mengendalikan konsumsi BBM," imbuh Putra.
Baca Juga: Harga Minyak Meroket, Pemerintah dan DPR Otak-Atik Postur RAPBN 2024 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat