KONTAN.CO.ID - Harga minyak mentah stabil pada hari Jumat (18/10), setelah data penjualan ritel Amerika Serikat (AS) yang kuat, meskipun indikator ekonomi China tetap bervariasi. Harga minyak masih menuju penurunan mingguan terbesar dalam lebih dari sebulan akibat kekhawatiran terhadap permintaan. Melansir
Reuters, harga minyak mentah Brent naik 8 sen, atau 0,1%, menjadi US$74,53 per barel pada pukul 03.38 GMT.
Sementara minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) naik 15 sen, atau 0,2%, menjadi US$70,82 per barel.
Baca Juga: Harga Minyak Naik Tipis Pada Jumat (18/10), tapi Catat Penurunan dalam Sepekan Kedua kontrak ditutup lebih tinggi pada Kamis untuk pertama kalinya dalam lima sesi setelah data Administrasi Informasi Energi (EIA) menunjukkan penurunan persediaan minyak mentah, bensin, dan distilat AS pekan lalu. Namun, Brent dan WTI diperkirakan akan mengalami penurunan sekitar 6% minggu ini, penurunan mingguan terbesar sejak 2 September. Hal ini terjadi setelah OPEC dan Badan Energi Internasional (IEA) menurunkan proyeksi permintaan minyak global untuk tahun 2024 dan 2025, serta kekhawatiran akan serangan balasan Israel terhadap Iran yang dapat mengganggu ekspor minyak Iran mereda. Market Strategist IG Yeap Jun Rong mengatakan bahwa meskipun harga minyak tetap lesu pada hari Jumat ini, ada tanda-tanda stabilisasi jangka pendek setelah pasar memperhitungkan meredanya risiko geopolitik dalam seminggu terakhir. “Data ekonomi AS yang lebih kuat dari perkiraan memberikan sedikit kelegaan terkait risiko pertumbuhan, tetapi pelaku pasar juga memperhatikan pemulihan permintaan dari China, mengingat adanya stimulus baru-baru ini,” kata Yeap dalam sebuah email.
Baca Juga: Harga Minyak Naik, Didorong Penurunan Stok Minyak Mentah AS dan Ketegangan Geopolitik Penjualan ritel AS meningkat sedikit lebih dari yang diperkirakan pada bulan September. Sementara investor masih memperkirakan peluang 92% untuk pemotongan suku bunga oleh The Fed pada November. Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal ketiga mencatat laju paling lambat sejak awal 2023, meskipun angka konsumsi dan output industri untuk bulan September melebihi perkiraan. Data ekonomi terbaru China menunjukkan hasil yang beragam, dengan negara tersebut kini gagal mencapai target pertumbuhan 5% tahun ini. Ketidakadaan dorongan fiskal yang signifikan menyisakan kekhawatiran terhadap permintaan minyak secara keseluruhan, menurut IG. Output kilang China juga turun selama tiga bulan berturut-turut akibat lemahnya konsumsi bahan bakar dan margin pengolahan yang tipis.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Stabil Kamis (17/10) Siang, Brent ke US$74 & WTI ke US$70,37 Namun, pasar tetap khawatir terhadap kemungkinan lonjakan harga akibat ketegangan di Timur Tengah. Kelompok militan Hezbollah di Lebanon pada hari Jumat menyatakan telah memasuki fase eskalasi baru dalam perang dengan Israel setelah tewasnya pemimpin Hamas, Yahya Sinwar. Risiko geopolitik seperti perkembangan di Timur Tengah terus memicu kekhawatiran akan gangguan pasokan, yang dapat menyebabkan lonjakan harga minyak dalam jangka pendek, menurut Priyanka Sachdeva, senior market analyst di Phillip Nova. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto