KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren kenaikan harga minyak diperkirakan bisa berlanjut hingga akhir tahun. Ketegangan di Timur Tengah dan persediaan minyak yang menurun bakal memanaskan harga minyak. Mengutip Bloomberg, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober 2019 di New York Mercantile Exchange menguat 0,79% ke level US$ 56,12 per barel, Kamis (22/8). Analis Finex Berjangka Nanang Wahyudi mengatakan, kenaikan harga minyak saat ini terdorong penurunan persediaan minyak di Amerika Serikat (AS).
Baca Juga: Analis: Sinyal stimulus tak cukup topang harga minyak Berdasarkan laporan Energy Information Administration (EIA), Negeri Paman Sam mengumumkan stok minyaknya hingga 16 Agustus 2019 turun 2,7 juta barel per hari. Penurunan stok tersebut lebih dalam dibandingkan perkiraan konsensus yang dihimpun Reuters sebesar 1,9 juta barel. "Penurunan stok minyak mentah seringkali menjadi indikasi bahwa akan ada pembelian dalam jumlah besar dalam waktu dekat. Ketika permintaan naik, maka harga juga mendapat sentimen positif," kata Nanang kepada KONTAN.CO.ID, Kamis (22/8). Andai The Fed menurunkan suku bunga acuan lagi juga akan mendorong harga minyak naik. Penurunan bunga The Fed akan membuat ekonomi AS menggeliat dan dan berdampak pada permintaan energi. Baca Juga: Kemenkeu mengimbau BPH Migas agar subsidi solar dapat dikendalikan Dari Timur Tengah, peringatan Presiden Iran Hassan Rouhani kepada AS agar tidak melanjutkan tekanan pada negara Persia juga akan membuat harga minyak membara. Konflik di selat Normuz dikhawatirkan akan tidak aman bagi pelayaran. Padahal Selat Normuz merupakan jalur distribusi minyak mentah yang sangat besar yakni 20% dari seluruh konsumsi minyak mentah dunia. Dengan begitu dapat mengganggu pasokan minyak mentah global. Memanasnya geopolitik di Selat Normuz berpeluang mengangkat harga minyak. Sehingga, hingga akhir tahun harga minyak masih berpeluang menyentuh U$60 per barel. Baca Juga: Harga minyak kembali bangkit terdorong sentimen geopolit