Harga Minyak Masih Tertekan Meski Suku Bunga Turun dan Ada Stimulus China



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak dunia bergerak bearish sepanjang hari ini. Penurunan harga minyak diprediksikan akan berlangsung hingga akhir tahun. 

Berdasarkan data Trading Economics, harga minyak WTI berada di US$ 68,70 per barel dan minyak Brent di US$ 72,39 per barel pada Kamis (26/9) pukul 17.33 WIB. Secara harian, harga minyak WTI dan Brent masing-masing melemah 1,54% dan 1,56%, lalu sepekan terakhir turun 3,55% dan 3,41%.

Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong mengatakan, sentimen investor pada minyak mentah dunia memang masih sangat negatif. Padahal terdapat sejumlah sentimen positif yang seharusnya dapat mendukung harga, seperti pemangkasan suku bunga the Fed, stimulus ekonomi China, dan proyeksi OPEC+ yang menaikkan outlook jangka panjang permintaan minyak mentah.


"Namun semuanya tidak sanggup mendukung harga," ujar Lukman kepada Kontan.co.id, Kamis (26/9).

Baca Juga: Pasokan Berlebih dari Arab dan Libya, Harga Minyak Turun Tajam

Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi berpandangan, penurunan harga minyak juga karena adanya aksi profit taking. Maklum, minyak sempat mencapai harga tertingginya dalam tiga minggu terakhir di US$ 71,6 per barel.

"Aksi profit taking ini juga berbarengan dengan wait and see investor mengenai prospek pemangkasan suku bunga the Fed lanjutan," sebutnya.

Sementara terkait stimulus yang mulai dilakukan pemerintah China, Ibrahim memandang hal itu tidak akan langsung bereaksi ke harga minyak. Sebab, stimulus diberikan untuk sektor properti.

Baca Juga: KPPU Selidiki Dugaan Monopoli Pertamina Patra Niaga soal Penyediaan Avtur di Bandara

Oil Research and Development ICDX Girta Yoga berpandangan, turunnya harga minyak juga dibebani oleh sentimen dari sinyal optimis gencatan senjata antara Israel dengan Lebanon. Selain itu, potensi kembali pulihnya produksi Libya.

Di sisi lain, penurunan harga minyak dunia lebih lanjut dapat ditahan oleh laporan Energy Information Administration (EIA), serta isyarat peningkatan tensi antara Rusia dengan Barat membatasi penurunan harga lebih lanjut.

Girta memaparkan, EIA melaporkan stok minyak mentah dalam sepekan turun sebesar 4,47 juta barel dari proyeksi penurunan sebesar 1,63 juta barel. Stok bensin juga dilaporkan turun sebesar 1,54 juta barel, di luar dugaan sebelumnya yang memperkirakan stok akan naik sebesar 69 ribu barel.

"Laporan EIA tersebut mengindikasikan permintaan yang kuat di pasar energi AS," katanya.

Baca Juga: Harga Minyak Menguat Tipis di Pagi Ini (26/9), Simak Sentimen yang Menopangnya

Lalu, potensi meningkatnya tensi antara Rusia dengan Ukraina serta negara Barat. Hal itu terjadi pasca Presiden AS Joe Biden pada hari Rabu menyatakan komitmen untuk memberikan dukungan sumber daya pada Ukraina.

Namun memang, lanjut Lukman, sentimen negatif minyak lebih jangka panjang. Sebab, pada 2025 diperkirakan permintaan akan melemah dan dari produksi akan mencatatkan surplus, seiring China yang terus melakukan elektrifikasi kendaraan.

Lukman memperkirakan harga minyak pada akhir tahun akan berada di kisaran US$ 65 per barel. Sementara Ibrahim memperkirakan harga minyak di US$ 60 per barel. Adapun Girta melihat, secara teknikal support terdekat harga minyak dunia di US$ 67 per barel dan resistance terdekat di US$ 72 per barel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati