KONTAN.CO.ID - SINGAPURA - Harga minyak mentah naik pada hari Senin (6/5) setelah Arab Saudi menaikkan harga minyak mentah di sebagian besar wilayah untuk pengiriman bulan Juni. Kenaikan harga minyak mentah ini dan karena prospek kesepakatan gencatan senjata di Gaza tampak tipis lantaran perundingan berjalan alot. Hal ini menambah kekhawatiran bahwa konflik Israel-Hamas masih dapat meluas di wilayah penghasil minyak utama tersebut.
Baca Juga: Harga Minyak Melanjutkan Koreksi di Tengah Kenaikan Produksi Minyak AS Minyak mentah berjangka Brent (LCOc1) naik 51 sen, atau 0,6%, menjadi US$ 83,47 per barel pada 06:36 GMT. Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate AS (CLc1) berada di Harga US$ 78,64 per barel, naik 53 sen, atau 0,7%. Pekan lalu, kedua kontrak berjangka tersebut membukukan penurunan Harga mingguan secara tertajam dalam tiga bulan. Harga minyak Brent anjlok lebih dari 7% dan WTI turun 6,8%, karena investor mempertimbangkan lemahnya data pekerjaan AS dan kemungkinan waktu penurunan suku bunga Federal Reserve.
Baca Juga: Harga Minyak Naik 5% Sepekan Setelah Israel Menolak Tawaran Gencatan Senjata Premi risiko geopolitik pada harga minyak juga mereda, seiring berjalanya perundingan mengenai gencatan senjata di Gaza sedang berlangsung di Mesir. Namun, prospek kesepakatan perundingan antara pejuang kemerdekaan Palestina, Hamas dengan Israel tampaknya tipis. Pada hari Minggu ketika Hamas menegaskan kembali tuntutannya untuk mengakhiri perang dengan imbalan pembebasan sandera. Sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan ngotot menolak, dan mengesampingkan usulan Hamas tersebut. Pada hari Senin (6/5), militer Israel terus bergerak ke Rafah, dan meminta warga sipil Palestina untuk segera pergi dari Rafah. Tindakan pengusiran warga oleh Israel ini agar mereka tidak dituding melakukan genosida sepertihalnya di Gaza.
Baca Juga: Pemerintah Waspadai Harga Minyak Melambung Tinggi Akibat Perang Israel-Palestina Pengusiran warga sebagai bagian dari operasi 'ruang lingkup terbatas', namun militer Israel tidak segera mengkonfirmasi laporan media bahwa ini adalah bagian dari persiapan serangan darat tantara pendudukan Israel di Rafah. “Berita bahwa Israel ingin melanjutkan dan memperluas operasinya di Rafah, berisiko menggagalkan potensi perjanjian gencatan senjata dan menghidupkan kembali ketegangan geopolitik Timur Tengah yang tampaknya mereda,” kata analis pasar IG Tony Sycamore. Dengan sebagian besar posisi beli minyak telah diselesaikan pada minggu lalu, risikonya adalah harga WTI akan bergolak kembali ke US$ 80 pada awal minggu ini, tambahnya. Harga minyak yang juga bullish adalah Arab Saudi yang menaikkan harga jual resmi (OSP) minyak mentahnya yang dijual ke Asia, Eropa Barat Laut, dan Mediterania pada bulan Juni.
Baca Juga: Pasukan Israel Serang Tepi Barat Palestina, Lima Warga Palestina Meninggal Kenaikan harga ini menandakan ekspektasi kuatnya permintaan pada musim panas ini. "Setelah turun sedikit lebih dari 7,3% minggu lalu karena meredanya ketegangan geopolitik, ICE Brent memulai minggu perdagangan baru dengan pijakan yang lebih kuat, dibuka lebih tinggi," kata kepala riset komoditas ING Warren Patterson dalam sebuah catatan. Hal ini terjadi setelah Arab Saudi menaikkan harga atau OSP bulan Juni untuk sebagian besar wilayah di tengah pengetatan pasokan pada kuartal ini, tambahnya.
Di China sebagai negara importir minyak mentah terbesar di dunia, aktivitas jasa tetap berada di wilayah ekspansif selama 16 bulan berturut-turut. Sementara pertumbuhan pesanan baru meningkat dan sentimen bisnis meningkat dengan kuat, sehingga meningkatkan harapan pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. Sebagai tanda pasokan akan semakin ketat, perusahaan-perusahaan energi AS memangkas jumlah rig minyak dan gas alam yang beroperasi selama dua minggu berturut-turut pada minggu lalu. Penurunan operasional dari jumlah rig minyak turun tujuh menjadi 499, penurunan mingguan terbesar sejak November 2023, kata Baker Hughes (BKR.O) dalam sebuah laporan pada hari Jumat.
Editor: Syamsul Azhar