JAKARTA. Penurunan harga minyak mentah dunia dari US$ 145 per barel yang terus anjlok menjadi US$ 63 per barel rupanya belum bisa dinikmati semua kalangan industri. Pasalnya, ada dua industri manufaktur yang sangat terpukul akibat pelemahan harga ini.
Kedua industri tersebut antara lain industri serat sintetis dan industri plastik. Sebabnya, kedua industri ini mengaku mengalami kerugian akibat harga minyak turun lantaran hasil produksi tidak ada yang mengonsumsi. Karena para pembeli masih menunggu kemungkinan harga minyak akan kembali anjlok. "Banyak terjadi pembatalan kontrak serat sintetis," kata Kustarjono Prodjolalito, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat Syntetis dan Fiber (Apsyfi), kemarin. Menurut Kustarjono, ada empat negara yang membatalkan kontrak antara lain Eropa Timur, Timur Tengah, Amerika Selatan, dan Afrika. Total pembatalan ekspor tersebut mencapai 30.000 ton dengan perkiraan kerugian US$ 39 juta. Padahal, sebelumnya Eropa membeli sebesar 40.000 ton per tahun, Timur Tengah 40.000 ton, Afrika dan Amerika masing-masing 15.000 ton. Kustarjono bilang pembatalan ini akan terus berlangsung hingga akhir tahun. Sayangnya, saat pasar ekspor anjlok produsen dalam negeri tidak mampu menyerap produksinya. "Perusahaan yang membeli syntetis sudah menurunkan produksinya 30%," tuturnya. Anehnya, Kustarjono mengaku telah menjual harga produksinya dibawah harga bahan baku yang ia beli. Ia telah menurunkan harga jual dari US$ 1,3 menjadi US$ 1,1. Namun, penurunan ini tidak membuat konsumen berniat membeli. Sayangnya produsen syntetis tidak bisa menurunkan harga produksinya karena telah mengalami kerugian. "Kondisinya sedang sangat sulit," keluhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News