KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keperkasaan harga minyak dunia di tahun ini membuat kinerja PT Garuda Indonesia Tbk masih loyo. Para analis pun masih memperkirakan kinerja perusahaan yang memiliki kode emiten GIAA ini masih tertekan oleh kenaikan harga emas hitam tersebut dan ditambah fluktuasi nilai tukar rupiah. Sebenarnya, sepanjang semester I-2018, kinerja GIAA sudah cukup baik, dengan mencatatkan kenaikan pendapatan 5,94% menjadi US$ 1,99 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017 lalu. Kenaikan ini juga membuat rugi bersih perusahaan ikut menipis. Jika di enam bulan pertama 2017, GIAA mencetak rugi bersih mencapai US$ 281,92 juta, kini di akhir Juni 2018 turun menjadi US$ 116,86 juta.
Perusahaan pelat merah ini memang berhasih mengerek pendapatan dengan cara efisiensi. Ini terlihat dari beban usaha yang hanya naik tipis 3,97% menjadi US$ 2,1 miliar di semester I lalu. Namun, di saat yang sama, pengeluaran avtur GIAA melesat 12%. Ini sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia di periode Januari-Juni 2018 yang melesat 20,16%. Mengutip Bloomberg, Jumat (29/6), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman November di New York Mercantile Exchange berada di level US$ 70,16 per barel. Padahal di akhir tahun 2017, harganya masih ada di US$ 58,38 per barel. Memang kenaikan harga minyak menjadi beban tersendiri bagi emiten transportasi khususnya perusahaan penerbangan ini. Apalagi, kini harga minyak terus meroket. Bahkan, Senin (1/10), harga minyak WTI kembali mencetak rekor tertingginya di tahun ini yang berada di level US$ 73,49 per barel. "Tak bisa dipungkiri, kinerja GIAA masih terbebani biaya opersional karena rally harga minyak dunia," kata analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Taye Shim dalam riset 1 Agustus 2018. Analis BNI Securities Thennesia Debora menambahkan, dengan tekanan dari kenaikan harga minyak, sudah pasti kinerja emiten BUMN ini bakal berdampak. "Apalagi kontribusi dari biaya bahan bakar mencapai 30% dari total beban usaha," ujar dia. Untungnya, GIAA turut melakukan efisiensi agar kenaikan harga minyak dapat diatasi. Menurut Thennesia, salah satu kebijakan yang paling efektif yang sudah dilakukan GIAA adalah dengan pengurangan rute penerbangan yang tidak perform. "Serta meningkatkan load factory untuk mengurangi biaya operasional guna mendukung kinerja keuangan yang masih loyo," tambah dia. Baru-baru ini, Garuda Indonesia memang menutup rute penerbangan langsung Jakarta-London. Sebenarnya penutupan ini baru efektif pada 30 Oktober 2018. Penutupan rute tersebut merupakan bagian dari restrukturisasi rute. Di sisi lain, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sempat menganggap rute langsung Jakarta-London kurang menguntungkan. Selain itu, gempa bumi di Palu yang membuat GIAA membatalkan sejumlah penerbangan ke wilayah Sulawesi itu hingga 2 Oktober 2018 diperkirakan turut mempengaruhi pendapatan perusahaan. Thennesia menghitung, paling tidak ada 18 penerbangan yang dibatalkan dari dan ke Palu, sejalan dengan penutupan Bandara Mutiara Sis Aljufri ini. Selain masalah harga minyak, kinerja GIAA juga dapat tertekan oleh fluktuasi nilai tukar rupiah. Walau sebenarnya kinerja perusahaan dapat tertolong oleh keuntungan kurs, namun beban utang GIAA yang dalam valuta asing dapat menghambat kinerja perusahaan. Dalam laporan keuangan GIAA, per Juni 2018, utang perusahaan dalam mata uang asing mencapai US$ 105 juta. Di mana jumlah terbesar adalah utang dalam denominasi dollar Amerika Serikat yang mencapai US$ 87,63 juta.
Di sisi lain, pada semester I-2018, perusahaan juga berhasil mencetak keuntungan dari selisih kurs sebesar US$ 31,38 juta. Angka ini naik dari posisi Juni 2017 yang hanya US$ 8,68 juta. Namun, Taye masih melihat, efisiensi yang dilakukan perusahaan berjalan lancar. Buktinya selama tiga tahun terakhir, perusahaan pelat merah ini selalu mencetak kenaikan pendapatan. Dia pun memperkirakan, pendapatan GIAA di akhir 2018 bisa mencapai US$ 4,46 miliar. Selain itu, ia memproyeksikan, GIAA bisa berhasil keluar dari kerugian di akhir tahun dengan laba bersih sebesar US$ 1,8 juta. Taye pun merekomendasikan trading buy untuk saham GIAA dengan target harga Rp 273 per saham. Sedangkan Thennesia menyarankan tahan. Ini serupa dengan rekomendasi analis Ciptadana Sekuritas Fahressi Fahalmesta yang menargetkan harga GIAA di Rp 260 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Narita Indrastiti