KONTAN.CO.ID - HOUSTON. Harga minyak ditutup menguat hampir 2% karena ketegangan antara Rusia dan Ukraina meningkat pesat saat kedua negara saling meluncurkan rudal, yang membuat pasar khawatir tentang pasokan minyak mentah jika konflik meluas. Kamis (21/11), harga minyak mentah berjangka jenis Brent untuk kontrak pengiriman Januari 2025 ditutup naik US$ 1,42 atau 1,95% ke US$ 74,23 per barel. Sementara, harga minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Januari 2025 ditutup menguat US$ 1,35 atau 2% menjadi US$ 70,1 per barel.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa Rusia telah meluncurkan serangan rudal balistik jarak menengah hipersonik terhadap fasilitas militer Ukraina. Dia juga memperingatkan negara Barat bahwa Moskow dapat menyerang instalasi militer negara mana pun yang senjatanya digunakan untuk melawan Rusia.
Baca Juga: Harga Minyak Global Naik Kamis (21/11), WTI ke US$69,39 per Barel Putin mengatakan, negara Barat meningkatkan konflik di Ukraina dengan membiarkan Kyiv menyerang Rusia dengan rudal jarak jauh, dan bahwa perang tersebut telah menjadi konflik global. Ukraina menembakkan, rudal AS dan Inggris ke sasaran di dalam Rusia di pekan ini, meskipun ada peringatan dari Moskow bahwa mereka akan melihat tindakan tersebut sebagai eskalasi besar. "Fokus pasar kini telah beralih ke meningkatnya kekhawatiran tentang eskalasi perang di Ukraina," kata Ole Hvalbye, analis komoditas di SEB. Rusia adalah eksportir minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi, sehingga gangguan besar dapat memengaruhi pasokan global. "Untuk minyak, risikonya adalah jika Ukraina menargetkan infrastruktur energi Rusia, sementara risiko lainnya adalah ketidakpastian tentang bagaimana Rusia menanggapi serangan ini," kata analis ING dalam sebuah catatan. Sementara sentimen yang membebani pasar adalah kenaikan persediaan minyak mentah Amerika Serikat (AS) sebesar 545.000 barel menjadi 430,3 juta barel, dalam minggu yang berakhir pada 15 November, melebihi ekspektasi analis. Persediaan bensin di pekan lalu naik lebih dari perkiraan. Sementara, persediaan sulingan membukukan penurunan yang lebih besar dari yang diharapkan, menurut data Energy Information Administration. China pada hari Kamis mengumumkan langkah-langkah kebijakan untuk meningkatkan perdagangan, termasuk dukungan untuk impor produk energi, di tengah kekhawatiran atas ancaman Presiden terpilih AS Donald Trump untuk mengenakan tarif. OPEC+ mungkin akan menunda peningkatan produksi lagi ketika bertemu pada 1 Desember karena permintaan minyak global yang lemah, kata tiga sumber OPEC+ yang mengetahui diskusi tersebut.
Baca Juga: Wall Street Reli: Dow, S&P Capai Level Tertinggi 1 Minggu Kelompok tersebut, yang menggabungkan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu seperti Rusia, memompa sekitar setengah dari minyak dunia. Awalnya, OPEC+ berencana untuk secara bertahap membalikkan pemangkasan produksi mulai akhir 2024 hingga 2025.
Sementara itu, Presiden Federal Reserve Chicago Austan Goolsbee pada hari Kamis menegaskan kembali dukungannya terhadap pemangkasan suku bunga lebih lanjut dan keterbukaannya untuk melakukannya secara lebih lambat. Pemangkasan suku bunga yang lebih lambat dari perkiraan membuat biaya pinjaman tetap tinggi sementara itu, yang dapat memperlambat aktivitas ekonomi dan mengurangi permintaan minyak.
Editor: Anna Suci Perwitasari