Harga Minyak Mentah Masih Bisa Naik Lagi, Simak Faktor Pendorongnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memanasnya konflik di Timur Tengah antara Palestina dan Israel mengerek harga minyak dunia. Harga minyak WTI menyentuh angka US$ 88 per barel pada Rabu (18/10), naik sekitar 8,6% dari harga dua minggu lalu yang masih di sekitar US$ 81 per barel. Harga ini juga menjadi yang tertinggi dalam dua pekan terakhir. 

Head Research & Development Deu Calion Futures (DCFX) Paolo Liszman mengatakan, meningkatnya ketegangan di wilayah Palestina-Israel telah memicu kekhawatiran atas potensi gangguan pasokan yang berefek langsung ke kenaikan harga minyak. Selain itu, data fundamental industri juga berkontribusi signifikan terhadap pergerakan harga minyak. 

Data terbaru yang dirilis oleh Badan Administrasi Informasi Energi (EIA) Amerika Serikat (AS) menunjukkan penurunan yang lebih besar dari perkiraan dalam persediaan minyak mentah AS pada pekan sebelumnya. Menurut laporan tersebut, persediaan minyak mentah AS turun sebanyak 4,491 juta barel, angka yang lebih tinggi dari ekspektasi para analis pasar.


"Pemangkasan yang signifikan dalam persediaan minyak mentah AS menunjukkan permintaan yang kuat dan penurunan stok yang lebih besar dari yang diperkirakan," kata Paolo dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/10).

Baca Juga: Ketahanan Energi Indonesia Terancam oleh Memanasnya Geopolitik Dunia

Paolo memperkirakan, harga minyak kemungkinan akan tetap cenderung naik dalam beberapa waktu ke depan, terutama jika ketegangan di Timur Tengah terus berlanjut dan permintaan global terus pulih dari dampak pandemi. Dengan demikian, para pelaku pasar perlu tetap waspada terhadap perubahan situasi yang terjadi di pasar minyak global.

Menurutnya, faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi harga secara signifikan dalam jangka pendek. Dengan demikian, pemantauan terus-menerus terhadap situasi politik dan data industri merupakan hal penting bagi para investor dan pelaku pasar dalam mengantisipasi pergerakan harga minyak ke depan.

Pengamat Pasar Keuangan Ariston Tjendra melihat, eskalasi konflik di Timur Tengah yang melibatkan negara lain bisa mendorong harga minyak WTI ke area US$ 93-US$ 95 per barel lagi. Sebaliknya, apabila tensi konflik menurun, maka harga minyak WTI bisa turun lagi ke area sekitar US$ 82 per barel. 

Menurutnya, potensi penurunan harga ini didukung oleh kebijakan AS yang sudah melonggarkan sanksi terhadap Venezuela terkait ekspor minyak mentahnya. Hal ini akan menambah suplai di pasar. 

OPEC pun mungkin bisa fleksibel untuk menaikkan suplai bila harga naik mendekati US$ 100 per barel. Selain itu, suku bunga tinggi AS juga bisa menekan harga minyak karena dolar AS menguat. 

"Isu perlambatan ekonomi global yang bisa mengurangi permintaan energi juga bisa menurunkan harga minyak mentah," ucap Ariston. 

Baca Juga: Ini Upaya Pemerintah Antisipasi Lonjakan Harga Minyak

Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo menambahkan, setelah naik ke level tertinggi dalam dua minggu pada Rabu (18/10), harga minyak sedikit melemah pada Kamis (19/10). Hal ini terjadi karena OPEC tidak menunjukkan tanda-tanda mendukung seruan Iran untuk melakukan embargo minyak terhadap Israel. 

Selain itu, AS juga mengeluarkan izin enam bulan untuk transaksi di sektor minyak Venezuela setelah pemerintahan Venezuela dan para pemimpin oposisi mencapai kesepakatan untuk memastikan pemilu 2024 yang adil.

Sutopo memprediksi, minyak mentah akan diperdagangkan pada US$ 90,29 per barel di akhir kuartal ini karena faktor siklus musiman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi