JAKARTA. Prospek minyak mulai terlihat cerah, di tengah optimisme perbaikan permintaan dan turunnya pasokan. Mengutip
Bloomberg, Kamis (12/5) pukul 18.00 WIB, kontrak harga minyak WTI pengiriman Juni 2016 di New York Merchantile Exchange menguat 0,69% ke posisi US$ 46,55 per barel. Bahkan sepekan terakhir, harganya sudah melesat 5%. Analis SoeGee Futures Nizar Hilmy mengatakan, kenaikan harga minyak dimulai saat ada pernyataan International Energy Agency (IEA) terkait prospek pasar energi. Disebutkan, pasar minyak sedang mengarah pada keseimbangan. Artinya, permintaan bakal meningkat dan surplus mulai berkurang memasuki pertengahan tahun ini.
Kenaikan permintaan ditopang oleh China, Rusia dan India. Walaupun pasokan minyak global naik 250.000 barel per hari pada bulan April lalu. Tapi penurunan produksi pada negara non OPEC bisa menyebabkan stok berkurang di pertengahan tahun 2016. Dengan demikian, pada pertengahan tahun kondisi kelebihan produksi akan berkurang, karena mulai terserap oleh kenaikan permintaan. Hal ini dapat membawa stabilisasi permintaan dan penawaran pada semester kedua tahun ini. Pengaruh Nigeria Selain data produksi minyak, gangguan di Nigeria serta kebakaran di Kanada turut menjadi katalis positif bagi harga minyak. Gangguan keamanan di Nigeria akibat serangan kelompok militan yang dibarengi kebocoran pipa menyebabkan pengiriman minyak terhambat. "Gangguan di Nigeria juga memicu harga minyak untuk menguat," ujar Deddy Yusuf Siregar, Analis PT Asia Tradepoint Futures. Menteri Perminyakan Nigeria Emmanuel Kachikwu menyatakan, produksi minyak Nigeria telah berkurang 600.000 barel per hari menjadi 1,4 juta lantaran kebangkitan serangan militan. Jika pada kuartal kedua harga minyak masih bergulir di atas US$ 40 per barel, Deddy memprediksi, harga di akhir tahun mencapai US$ 50 per barel. Apalagi, jika pembekuan produksi dapat terlaksana. "Tidak menutup kemungkinan, harga minyak akan berada di jalur yang lebih baik pada tahun ini," lanjutnya.
Tak jauh berbeda, Nizar pun menargetkan harga minyak di akhir 2016 bisa menguat di kisaran US$ 55-US$ 60 per barel. Tapi perlu digarisbawahi itu, dengan asumsi kondisi ekonomi global terutama China membaik. Secara teknikal, Deddy melihat, harga minyak bergerak di atas moving average (MA) 50, MA100 dan MA200. Indikator
moving average convergence divergence (MACD) berada di area positif. Indikator
relative strength index (RSI) menguat di level 65 tetapi stochastic cenderung koreksi lantaran overbought di level 80. Jumat (13/5) Deddy memprediksi, minyak menguat pada kisaran US$ 45-US$ 47 per barel. Sedangkan Nizar memperkirakan, harga minyak dalam sepekan ke depan di rentang US$ 45-US$ 50 per barel. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie