Harga minyak mentah turun, BBM susah naik



JAKARTA. Keinginan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sepertinya makin jauh panggang dari api. Pasalnya, tren harga minyak mentah internasional mulai melandai. Alhasil, harga minyak mentah Indonesia alias Indonesian Crude Price (ICP) juga ikut turun.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan rata-rata ICP sepanjang April 2012 sebesar US$ 124,63 per barel. Angka ini lebih rendah ketimbang Maret yang sebesar US$ 128,14 per barel.

Dengan begitu, rata-rata harga ICP selama enam bulan terakhir masih ada di kisaran US$ 119,08 per barel, atau masih di bawah batas ketentuan di dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2012 dimana deviasi harus lebih dari 15% yakni US$ 120,75 per barel. Agar bisa mencapai angka ini, maka harga minyak sepanjang Mei ini minimal rata-rata harus US$ 122,95 per barel.


Pengamat energi Pri Agung Rahmanto memperkirakan, tanpa adanya gejolak dan isu negatif, harga minyak bakal stabil di kisaran US$ 110 per barel hingga penghujung tahun ini. Apalagi ketegangan antara Amerika Serikat dengan Iran sudah sedikit reda.

Pengamat ekonomi Iman Sugema punya pendapat berbeda. Ia menilai, harga minyak tidak akan banyak bergerak di kisaran yang ada sekarang, US$ 119.08 per barel. Sebab, ada sejumlah kepentingan yang menginginkan harga minyak agar tetap relatif tinggi. "Amerika itu kan sekarang nett exsporter juga, jadi sangat sulit mengharapkan harga minyak dunia untuk turun," tandasnya.

Belum tentu naik harga

Meski harga minyak mentah tetap bertahan di level harga di atas US$ 100 per barel, atau bahkan bisa menembus batas asumsi makro di APBN-P 2012, belum tentu pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga jual BBM bersubsidi di masyarakat.

"Harusnya kalau sudah mencapai harga rata-rata US$ 120,75 per barel harga BBM bersubsidi bisa dinaikkan. Tapi, belum tentu pemerintah berani melakukannya," kata Pri Agung.

Sedangkan Iman menilai, ada komunikasi yang salah yang selalu didengungkan oleh pemerintah terutama lewat Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM. Mereka selalu menyatakan seolah anggaran pemerintah akan jebol kalau harga minyak mentah di pasar internasional tetap naik tinggi.

Padahal dengan harga yang relatif tinggi justru pemerintah mendapatkan keuntungan. Karena kalau harga minyak naik, akan terjadi pula kenaikan penerimaan gas. "Jadi kalau dihitung dengan penerimaan gas, kan malah bisa surplus," ujarnya. Sekadar catatan, sampai triwulan I 2012 neraca migas mengalami defisit US$ 440 juta. Khusus neraca hasil minyak defisit hingga US$ 5,57 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie