JAKARTA. Penurunan harga minyak mentah di pasar dunia ibarat pedang bermata dua. Satu sisi, negara bisa menghemat anggaran subsidi bahan bakar minyak. Namun di sisi lain, produksi minyak bakal makin jauh dari target. Sebab, kontraktor minyak dan gas mengurangi produksi lantaran harga jual minyak sedang rendah. Asal tahu saja, harga minyak mentah terus longsor dalam beberapa pekan terakhir. Hingga Rabu (27/6), harga minyak jenis ice brent atau jenis minyak mentah yang harganya mendekati minyak mentah Indonesia (ICP), mencapai US$ 93,58 per barel. Angka ini jauh di bawah asumsi makro ekonomi pada bujet negara 2012, yakni sebesar US$ 105 per barel.
Catatan saja, tren harga rata-rata minyak mentah Indonesia terus menurun. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), rata-rata ICP pada Mei sebesar US$ 113,76 per barel, lebih rendah ketimbang April yang sebesar US$ 124,63 per barel. Pada Januari-Mei 2012, rata-rata harga minyak masih US$ 120,9 per barel. "Kami membuat asumsi harga minyak rata-rata untuk jangka waktu satu tahun, jadi belum banyak pengaruhnya terhadap APBN," kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo di sela rapat dengan Badan Anggaran DPR, Rabu (27/6). Toh, Agus mengaku senang. Sebab, melemahnya harga minyak ini menurunkan risiko fiskal pemerintah. Lifting meleset lagi Yang menjadi kekhawatiran pemerintah adalah realisasi hasil penyedotan minyak mentah Indonesia (lifting) yang terus merosot. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Evita Legowo mengatakan, hingga 11 Juni 2012 realisasi rata-rata lifting minyak mentah Indonesia hanya sebesar 880.000 barel per hari. Padahal, target lifting tahun 2012 sebesar 930.000 barel per hari Gagalnya pencapaian lifting dari tahun ke tahun ini, membikin Agus pusing tujuh keliling. Padahal, kalau harga minyak sedang melesat tinggi pemerintah bisa menikmati windfall profits. Kalaupun harga minyak melemah, dengan lifting yang sesuai target, penerimaan negara tidak meleset lagi. "Ini mengganggu fiskal, untuk itu kami akan menjaga agar defisit bisa di bawah 2,3% dari produk domestik bruto," katanya.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa berpendapat, meski harga minyak mentah turun, secara umum masih berdampak positif terhadap anggaran. Dengan catatan, harga minyak mentah ini tidak anjlok terlalu dalam. Yang sudah di depan mata, ongkos subsidi tidak membengkak. Tahun ini, anggaran subsidi energi mencapai Rp 230 triliun. Itu terdiri dari subsidi BBM Rp 137,4 triliun dan subsidi listrik Rp 93 triliun. Tapi sayangnya, hingga kini pemerintah belum membuka berapa realisasi pembayaran subsidi ini. Dari sini akan bisa terlihat apakah Indonesia menerima keuntungan atau justru merugi akibat melemahnya harga minyak mentah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie