KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Harga minyak menguat pada hari ini tetapi berada di jalur penurunan mingguan di tengah kekhawatiran kenaikan suku bunga tajam yang akan membanting pertumbuhan global dan menekan permintaan bahan bakar. Jumat (16/9) pukul 13.30 WIB, harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman November 2022 naik 56 sen, atau 0,6% ke US$ 91,40 per barel. Namun, sejauh ini, harga Brent masih turun 1,5% untuk pekan ini. Sejalan, harga minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Oktober 2022 naik 42 sen atau 0,5% ke US$ 85,52 per barel. Dalam pekan ini, harga WTI masih turun 1,4%.
"Rebound pagi hari ini untuk harga minyak hanya dapat digambarkan sebagai koreksi jangka pendek, karena The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 bps atau 100 bps di minggu depan," kata Leon Li, analis di CMC Markets. Baca Juga: Harga Minyak Melemah Jelang Akhir Pekan "Meskipun kemungkinan kenaikan suku bunga 100 bps relatif kecil, itu akan membawa ketidakpastian pada sentimen pasar. Jadi masih ada risiko harga minyak bisa turun lebih rendah minggu depan," lanjut dia. Harga kedua tolok ukur minyak tersebut menuju kerugian mingguan ketiga berturut-turut, sebagian tekanan datang dari penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Hal tersebut membuat harga minyak lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lainnya. Indeks dolar turun pada hari Jumat tetapi bertahan di dekat tertinggi yang dicetak minggu lalu di atas 110. Investor bersiap untuk kenaikan suku bunga AS minggu depan setelah data inflasi yang mendasari keputusan suku bunga naik, dan di saat yang sama, kekhawatiran resesi global meningkat. Pasar juga terguncang oleh prospek International Energy Agency (IEA) untuk pertumbuhan permintaan minyak yang hampir 0 (nol) pada kuartal keempat. Ini terjadi lantaran prospek permintaan yang lebih lemah untuk China. "Fundamental minyak sebagian besar masih bearish karena prospek permintaan China tetap menjadi tanda tanya besar dan karena inflasi yang melawan The Fed tampaknya siap untuk melemahkan ekonomi AS," kata analis OANDA Edward Moya dalam sebuah catatan. Baca Juga: Taiwan Mempertimbangkan Pelonggaran Wajib Karantina COVID-19 untuk Kedatangan