KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak menguat di hari keempat berturut-turut hingga pagi ini setelah Uni Eropa menyetujui putaran sanksi tambahan yang mengancam aliran minyak Rusia. Sanksi terbaru ini dapat memperketat pasokan minyak mentah global. Kamis (12/12) pukul 6.46 WIB, harga minyak WTI kontrak Januari 2025 di New York Mercantile Exchange naik 0,08% ke US$ 70,35 per barel. Kemarin, harga minyak acuan Amerika Serikat (AS) ini melonjak 2,48% dalam sehari. Dalam empat hari beruntun hingga pagi ini, harga minyak WTI mencatat kenaikan total 4,69%. Sedangkan harga minyak mentah Brent kontrak Februari 2025 di ICE Futures kemarin naik 1,84% menjadi $73,52 per barel. Dalam tiga hari berturut-turut, harga minyak acuan internasional ini mengakumulasi kenaikan 3,37%.
Para duta besar Uni Eropa pada hari Rabu menyetujui paket sanksi ke-15 terhadap Rusia atas perangnya melawan Ukraina, kata presidensi UE Hongaria. "Saya menyambut baik penerapan paket sanksi ke-15 kami yang secara khusus menargetkan armada bayangan Rusia," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen di X seperti dikutip
Reuters.
Baca Juga: Ada yang Naik, Berikut Harga BBM Desember Pertamina, Shell, BP & Vivo, Kamis (12/12) "Armada bayangan" tersebut telah membantu Rusia melewati batasan harga US$ 60 per barel yang diberlakukan oleh G7 pada minyak mentah Rusia yang diangkut melalui laut pada tahun 2022, dan telah membantu menjaga aliran minyak Rusia. "Keseriusan baru tentang pembatasan aliran di sini berpotensi mendukung, dan mengimbangi metrik permintaan tradisional yang selama ini menjadi fokus kami," kata John Kilduff, mitra di Again Capital di New York. Mengekang kenaikan harga pada hari Rabu, persediaan bensin dan sulingan naik lebih dari yang diharapkan minggu lalu, menurut data dari Badan Informasi Energi AS. Data stok minyak Amerika ini membebani harga minyak mentah. Sementara itu, kelompok produsen OPEC memangkas perkiraannya untuk pertumbuhan permintaan pada tahun 2024 dan 2025 untuk bulan kelima berturut-turut pada hari Rabu dan dengan jumlah terbesar sejauh ini. "OPEC menghadapi kenyataan tentang apa yang mereka hadapi, pemangkasan ini menyoroti bahwa mereka kewalahan dalam hal mencoba menyeimbangkan pasar menuju tahun 2025," tambah Kilduff.
Baca Juga: Harga Minyak Berbalik Naik Setelah OPEC Pangkas Proyeksi Permintaan Rabu (11/12) OPEC+ awal bulan ini menunda rencana untuk mulai menaikkan produksi. Permintaan yang lemah, terutama di negara pengimpor utama China, dan pertumbuhan pasokan non-OPEC+ merupakan dua faktor di balik langkah tersebut. Namun, investor mengantisipasi kenaikan permintaan China menyusul rencana terbaru pemerintah China untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. China pada awal pekan ini mengatakan akan mengadopsi kebijakan moneter yang "cukup longgar" pada tahun 2025 yang menandai pelonggaran pertama sikapnya dalam 14 tahun. "Tidak pasti apakah China dapat sepenuhnya memulai pertumbuhan pada tahun 2025," kata analis riset Global X, Kenny Zhu.
Baca Juga: Skema Baru Subsidi BBM Mulai Berlaku 2025, Ekonom Celios: Harus Hati-Hati "Kami yakin stimulus moneter dan fiskal China akan menjadi poin data utama yang perlu diperhatikan untuk tahun mendatang," imbuh Zhu. Impor minyak mentah China juga tumbuh setiap tahun untuk pertama kalinya dalam tujuh bulan pada bulan November, naik lebih dari 14% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, pemerintah Rusia mengatakan bahwa laporan tentang kemungkinan pengetatan sanksi AS terhadap minyak Rusia menunjukkan bahwa pemerintahan Presiden AS Joe Biden ingin meninggalkan warisan yang sulit bagi hubungan AS-Rusia.
Menteri Keuangan Janet Yellen mengatakan pada hari Rabu bahwa AS terus mencari cara-cara kreatif untuk mengurangi pendapatan minyak Rusia dan menurunkan permintaan minyak global yang menciptakan peluang untuk lebih banyak sanksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati