KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak melanjutkan kenaikan di hari keempat berturut-turut. Harga minyak naik karena ekspektasi defisit pasokan yang berasal dari pengurangan produksi yang berkepanjangan oleh Arab Saudi dan Rusia serta lemahnya produksi minyak serpih melebihi kekhawatiran atas permintaan. Selasa (19/9) pukul 7.15 WIB, harga minyak WTI kontrak Oktober 2023 di New York Mercantile Exchange kembali naik 0,98% ke US$ 92,3 per barel yang merupakan harga tertinggi sejak Juni 2022. Dalam empat hari perdagangan, harga minyak acuan Amerika Serikat (AS) ini naik total 4,36%. Sedangkan harga minyak Brent kontrak November 2023 di ICE Futures menguat 0,33% pada pagi ini ke U$ 94,74 per barel. Harga minyak acuan internasional ini menguat total 3,11% dalam empat hari perdagangan.
Arab Saudi dan Rusia bulan ini memperpanjang pengurangan pasokan gabungan sebesar 1,3 juta barel per hari (bpd) hingga akhir tahun. Sementara itu, produksi minyak AS dari wilayah penghasil serpih terbesar juga diperkirakan turun selama tiga bulan berturut-turut pada bulan Oktober ke level terendah sejak Mei 2023, menurut Badan Informasi Energi AS dalam laporan bulanannya.
Baca Juga: Pergerakan IHSG Tertekan Jelang Keputusan The Fed dan BI Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman pada hari Senin membela pemotongan pasokan pasar minyak oleh OPEC+. Dia mengatakan bahwa pasar energi internasional memerlukan regulasi yang lebih ringan untuk membatasi volatilitas, sekaligus memperingatkan ketidakpastian mengenai permintaan Tiongkok, pertumbuhan Eropa, dan tindakan bank sentral untuk mengatasi inflasi. Brent dan WTI telah naik selama tiga minggu berturut-turut dan menyentuh level tertinggi sejak Juni 2022. Harga minyak menuju kenaikan kuartalan terbesar sejak invasi Rusia ke Ukraina pada kuartal pertama tahun 2022. Patokan Brent diperdagangkan di wilayah
overbought untuk hari ketujuh berturut-turut, sementara WTI diperdagangkan di wilayah
overbought untuk hari kelima berturut-turut. "Pasar juga melihat beberapa aksi ambil untung," kata Dennis Kissler, wakil presiden senior perdagangan di BOK Financial kepada
Reuters. Citi pada hari Senin menjadi bank terbaru yang memperkirakan bahwa harga Brent bisa melebihi US$ 100 per barel tahun ini. Dalam wawancara dengan Bloomberg News, Chief Executive Chevron Mike Wirth juga mengatakan, harga minyak akan melampaui US$ 100 per barel.
Baca Juga: Wall Street Naik Tipis, Pasar Menanti Keputusan The Fed Analis ANZ memperkirakan, pemangkasan produksi oleh Arab Saudi dan Rusia dapat menyebabkan defisit 2 juta barel per hari pada kuartal keempat, dan penurunan persediaan selanjutnya dapat membuat pasar terkena lonjakan harga lebih lanjut pada tahun 2024.
Tiongkok merupakan risiko utama karena lambatnya pemulihan ekonomi pascapandemi, meskipun impor minyaknya tetap kuat. Serangkaian langkah-langkah stimulus dan lonjakan perjalanan di musim panas membantu output industri dan belanja konsumen meningkat pada bulan lalu. Sedangkan kilang-kilang Tiongkok meningkatkan produksi, didorong oleh margin ekspor yang kuat. Perhatian juga akan tertuju pada bank sentral pada minggu ini, termasuk keputusan suku bunga dari Federal Reserve AS. Bank of England kemungkinan akan menaikkan suku bunga sekali lagi pada minggu ini, yang mungkin merupakan langkah terakhir dari salah satu siklus pengetatan paling agresif dalam 100 tahun terakhir. Melemahnya perekonomian mulai mengkhawatirkan para pembuat kebijakan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati