Harga minyak naik, dana bagi hasil melonjak



JAKARTA. Revisi harga minyak mentah asal Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negera-Perubahan (RAPBNP) 2012 berdampak pada naiknya dana transfer daerah.

RAPBNP 2012 menyebutkan, dana transfer daerah meningkat Rp 5,85 triliun menjadi Rp 476,26 triliun. Peningkatan dana transfer daerah di RAPBNP 2012 lantaran ada peningkatan dana perimbangan ke daerah menjadi Rp 405,8 triliun atau naik Rp 5,9 triliun dari pagu APBN 2012 sebesar Rp 400 triliun.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Marwanto Harjowiryono mengatakan, peningkatan dana perimbangan ini disebabkan karena naiknya dana bagi hasil ke daerah. "Dalam RAPBNP 2012, ada perubahan DBH karena harga SDA migas naik, makanya dana bagi hasilnya naik," ujarnya, kemarin.


"Dalam RAPBNP 2012, ada perubahan DBH karena harga SDA migas naik, makanya dana bagi hasilnya naik,"

Dalam nota keuangan RAPBNP 2012 juga disebutkan perubahan penerimaan SDA disebabkan karena adanya perubahan target Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari sumber daya alam minyak bumi, pertambangan umum, dan kehutanan. Selain itu, kenaikan penerimaan juga dikontribusi oleh perubahan target penerimaan cukai hasil tembakau.

Marwanto menyebutkan, dalam RAPBNP 2012, alokasi dana bagi hasil meningkat Rp 5,9 triliun menjadi Rp 105,9 triliun. Perubahan alokasi dana hasil ini terdiri dari dana bagi hasil atas pajak penghasilan yang naik Rp 2,7 triliun. "Ini merupakan kurang bayar dalam tahun anggaran 2008 sampai 2010," jelasnya. Sisi lain, dana bagi hasil atas pajak bumi dan bangunan turun Rp 5,8 triliun karena penurunan target penerimaannya.

Sementara, bagi hasil untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan naik Rp 238,8 miliar, dana bagi hasil cukai hasil tembakau naik Rp 205,1 miliar, dan dana bagi hasil sumber daya alam migas naik Rp 6,9 triliun. Dana bagi hasil dar pertambangan umum naik Rp 1,4 triliun karena naiknya iuran, royalti dan realisasi kurang bayar tahun anggran 2011.

Dana bagi hasil SDA kehutanan, SDA perikanan dan SDA pertambangan masing-masing naik Rp 162,9 miliar, rp 24,5 miliar dan Rp 117,2 miliar. Sementara untuk dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU), tidak mengalami perubahan yakni masing-masing sebesar Rp 26,1 triliun dan Rp 273,8 triliun.

Dana otonomi khusus juga tidak mengalami perubahan, dipatok sebesar Rp 11,9 triliun. Sekadar diketahui, pada APBN 2012, asumsi ICP dipatok US$90 per barel. Pada Januari 2012, ICP mencapai US$115 per barel, sedangkan ICP per 28 Februari 2012 mencapai US$122 per barel.

Subsidi listrik bengkak

Sementara itu, subsidi listrik yang dipatok dalam RAPBN-P membengkak dua kali lipat. Pemerintah berkilah hal ini disebabkan konsumsi listrik yang masih bergantung pada bahan bakar minyak (BBM). Maka itu, pemerintah sedang berupaya mengalihkan konsumsi listrik dengan BBM ke gas atau tenaga matahari.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan, pemerintah sudah melihat struktur pembiayaan listrik yang mayoritas menggunakan BBM, seperti solar dan bensin.

Dengan BBM, biaya yang harus dirogoh sebesar 36-40 sen per kwh. Jika menggunakan gas cost yang dikeluarkan hanya sekira 7 sen per kwh. Sementara bahan bakar lainnya seperti batubara, biayanya 6 sen per kwh dan geothermal 6-9 sen per kwh. "Kalau tenaga matahari yang sedang disiapkan besarannya dalam 10 tahun pertama itu 23 sen per kwh. Setelah 10 tahun itu hanya tinggal 3-4 sen per kwh. Jadi ini murah," katanya Jumat (9/3).

Ongkos investasi di tenaga terbarukan memang mahal pada awalnya, namun akan lebih efisien untuk jangka panjang. Hal ini membuat Jero cukup yakin kalau pada 2014 nanti pemerintah bisa menurunkan subsidi listrik yang terus membengkak. Seperti diketahui, beban subsidi listrik dalam RAPBN-P 2012 diperkirakan mencapai Rp 93,05 triliun, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 48,09 triliun atau 107% bila dibandingkan pagu alokasi anggaran subsidi listrik sebesar Rp 44,96 triliun.

Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, beban subsidi listrik tahun ini membengkak karena harga high speed disel (HSD) naik, sedangkan PLN tidak bisa membeli BBM bersubsidi lagi. Otomatis, impor naik. Apalagi konsumsi masyarakat masih besar karena ada keterlambatan di pembangkit batubara. "Ini masalah klasik. Ada pasokan gas tapi ujungnya ada di fuel mix. Kalau HSD masih besar maka subsidi pasti di atas yang diperkirakan," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can