Harga Minyak Naik Tipis, Tetapi Tetap Berada di Jalur Penurunan Minggu Kedua Beruntun



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah naik pada hari Jumat (9/9), investor mempertimbangkan ancaman Rusia untuk menghentikan ekspor minyak dan gas ke beberapa pembeli. Tetapi minyak mentah pada jalur penurunan mingguan kedua berturut-turut karena kenaikan suku bunga agresif bank sentral dan pembatasan Covid-19 China membebani permintaan.

Melansir Reuters, harga minyak mentah Brent naik 27 sen atau 0,3% menjadi US$89,42 per barel pada pukul 0330 GMT. Sementara, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) naik 15 sen atau 0,2% menjadi US$83,69.

"Saya pikir aksi jual harga minyak mungkin terhenti untuk saat ini karena pemulihan sentimen risiko secara keseluruhan," kata analis CMC Markets Tina Teng.


Baca Juga: Tren Harga Minyak Dunia Turun, Ini Kata Dirut Pertamina

Teng menambahkan bahwa dolar yang lebih lemah dan penurunan imbal hasil obligasi telah menawarkan dukungan rebound untuk aset berisiko.

"Pada dasarnya, penurunan tajam dalam SPR AS menunjukkan bahwa kekurangan pasokan masih menjadi masalah utama di pasar minyak fisik, meskipun kekhawatiran resesi mungkin terus membebani," tambah Teng.

Kedua tolok ukur harga minyak menuju penurunan mingguan sebesar 4%, dengan pasar meluncur pada satu titik minggu ini ke level terendah sejak Januari.

Penurunan dibatasi oleh ketatnya pasokan di tengah ancaman Rusia untuk memotong aliran minyak ke negara mana pun yang mendukung pembatasan harga minyak mentahnya, serta pengurangan produksi kecil oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu, dan prospek yang lebih lemah untuk pertumbuhan produksi minyak AS.

Administrasi Informasi Energi AS pada hari Kamis mengatakan, pihaknya memperkirakan produksi minyak mentah AS naik 540.000 barel per hari menjadi 11,79 juta barel per hari pada 2022, turun dari perkiraan sebelumnya untuk peningkatan 610.000 barel per hari.

Baca Juga: Harga Minyak Mentah Dekati Posisi Terendah 8 Bulan di Tengah Kekhawatiran Permintaan

Analis mengatakan, mengingat prospek pasokan, aksi jual, yang mengirim rata-rata pergerakan 50 hari di bawah rata-rata pergerakan 200 hari pada pertengahan minggu yang disebut sebagai 'death cross', mungkin telah berlebihan, karena permintaan.

"Permintaan China lebih sulit untuk diprediksi, tetapi pembukaan kembali pasca-Covid sebelumnya telah melihat kemunduran daripada kenaikan permintaan secara bertahap. Dalam konteks itu, fundamental tampak condong terhadap sinyal teknis terbaru," kata analis National Australia Bank dalam sebuah catatan.

Untuk saat ini, pembatasan di China semakin ketat. Kota Chengdu pada hari Kamis memperpanjang penguncian untuk sebagian besar dari lebih dari 21 juta penduduknya, sementara jutaan lainnya di bagian lain China didesak untuk tidak bepergian selama liburan mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto