Harga minyak rentan dilanda profit taking



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski tengah dibalut tren positif, tetapi penguatan harga minyak mentah diperkirakan akan tertahan mendekati pertemuan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) di Wina pada 30 November nanti. Kemungkinan pasar akan melakukan aksi ambil untung sebelum adanya keputusan perpanjangan pemangkasan produksi.

“Mereka pasti akan mengamankan posisi dulu untuk mengakumulasi keuntungan,” ujar Deddy Yusuf Siregar, analis PT Asia Tradepoints Futures, Rabu (22/11).

Hanya saja sebelum terganjal aksi profit taking, Deddy tetap optimistis harga minyak mentah masih mampu merangkak menembus level US$ 60 per barel. Menurutnya, jika Energy Information Administration (EIA) mengkonfirmasi penurunan cadangan minyak yang telah dirilis API, maka pasar akan semakin positif. Diprediksi cadangan minyak untuk pekan yang berakhir 17 November akan menyusut 1,4 juta barel dibanding pekan sebelumnya.


Secara teknikal, sekarang ini hampir semua indikator menunjukkan potensi penguatan. Harga telah bergerak di atas garis moving average (MA) 50, MA 100 dan MA 200. Kemudian indikator moving average convergence divergence (MACD) bergulir di area positif dan indikator relative strength index (RSI) berada di level 68. Hanya indikator stochastic yang berada di level 90, yang memberi sinyal koreksi karena telah memasuki area jenuh beli atau overbought.

“Untuk Kamis (23/11), minyak akan menguat terbatas di kisaran US$ 59,43-US$ 56,30 per barel. Sepekan, harga minyak akan berada di rentang US$ 55,20-US$ 60,30 per barel,” tebaknya.

Sementara, proyeksi Faisyal, kemungkinan koreksi harga minyak terjadi karena adanya kekhawatiran Rusia tidak akan melanjutkan perpanjangan pemangkasan. Selama ini Rusia menjadi produsen minyak terbesar yang sangat diperhitungkan di luar anggota OPEC. Keputusan Rusia ini akan cukup berpengaruh pada pergerakan harga.

“Diperkirakan pada Kamis (22/11) minyak mentah akan menguat terbatas di rentang US$ 57 US$-58,50 per barel dan sepekan  berikutnya berada dikisaran US$ 56-US$ 59 per barel,” prediksinya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini