KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Harga minyak ditutup ke level tertinggi dalam sepekan setelah langkah Amerika Serikat (AS) dan negara-negara konsumen lainnya untuk melepaskan puluhan juta barel minyak dari cadangan untuk mencoba mendinginkan pasar gagal untuk memenuhi beberapa harapan. Selasa (23/11), harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman Januari 2022 naik US$ 2,61 atau 3,3% dan ditutup di US$ 82,31 per barel. Setali tiga uang, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Januari 2022 ditutup menguat $1,75 atau 2,3% ke US$ 78,50 per barel.
Itu adalah persentase kenaikan harian terbesar bagi Brent sejak bulan Agustus dan penutupan tertinggi sejak 16 November. Hal ini juga mendorong premi Brent atas WTI ke level tertinggi sejak pertengahan Oktober. Sentimen bagi harga minyak datang setelah AS mengatakan pada hari Selasa akan melepaskan jutaan barel minyak dari cadangan strategis berkoordinasi dengan China, India, Korea Selatan, Jepang dan Inggris. Hal ini dilakukan untuk mencoba mendinginkan harga setelah produsen OPEC+ berulang kali mengabaikan permintaan untuk lebih banyak minyak mentah yang diguyur ke pasar.
Baca Juga: Harga minyak mentah tergelincir, Brent ke US$79,03 dan WTI ke US$75,87 Tetapi para analis mengatakan, efek pada harga kemungkinan akan berumur pendek setelah bertahun-tahun penurunan investasi dan pemulihan global yang kuat dari pandemi Covid-19. Pembicaraan tentang rilis cadangan terkoordinasi, dolar AS yang kuat dan potensi pukulan terhadap permintaan energi dari gelombang keempat kasus Covid-19 di Eropa telah menyebabkan harga Brent turun lebih dari 10% sejak mencapai level tertinggi untuk tiga tahun saat bertengger di US$ 86,70 pada 25 Oktober silam. Pemerintahan Presiden Joe Biden mengatakan, bakal melepaskan 50 juta barel dari Cadangan Minyak Strategis (SPR) AS, yang akan mulai memasuki pasar pada pertengahan hingga akhir Desember mendatang. "Rilis SPR terkoordinasi lebih kecil dari perkiraan dan tidak diragukan lagi akan dipenuhi oleh lebih sedikit produksi dari OPEC+," kata Edward Moya,
Senior Market Analysts di OANDA. "Tidak ada yang akan terkejut jika (OPEC+) mengurangi rencana produksi mereka," lanjut Moya. Aliansi OPEC+ antara Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutu termasuk Rusia sejauh ini telah menolak permintaan berulang dari Washington untuk memompa lebih banyak minyak ke pasar. Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail Al-Mazrouei mengatakan pada hari Selasa bahwa UEA melihat "tidak ada logika" dalam meningkatkan kontribusinya sendiri ke pasar global saat ini, menambahkan data teknis yang dikumpulkan menjelang pertemuan OPEC+ mendatang pada bulan Desember menunjukkan surplus minyak di kuartal pertama 2022. Analis mengatakan, perusahaan yang membeli minyak dari SPR AS harus mengembalikannya pada 2022-2024 ketika harga jauh lebih murah daripada sekarang. Saat ini minyak berjangka diperdagangkan sekitar US$ 75 pada tahun 2022, dan US$ 69 per barel pada tahun 2023 dan di kisaran US$ 65 pada tahun 2024 mendatang.
Baca Juga: Harga emas spot ditutup melemah ke US$ 1.789 per ons troi, ini penyebabnya "Kami mengharapkan perataan kurva, karena bagian dari rilis SPR perlu diisi ulang lagi," kata Bjornar Tonhaugen,
Head of Oil Markets Rystad Energy. Reli minyak terjadi menjelang laporan persediaan AS dari American Petroleum Institute (API), sebuah kelompok industri dan Energy Information Administration di tengah pekan ini.
Analis memperkirakan data persediaan minyak mingguan AS terbaru menunjukkan penarikan 0,5 juta barel dari stok minyak mentah. Sementara itu, indeks dolar bertahan di dekat level tertinggi dalam 16-bulan pada hari Selasa setelah Ketua Federal Reserve Jerome Powell dipilih untuk masa jabatan kedua. Ini memperkuat ekspektasi pasar bahwa suku bunga AS akan naik pada tahun 2022. Dolar AS yang lebih kuat membuat minyak lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya, yang menurut para pedagang membebani harga minyak mentah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari