Harga minyak suram terkepung tekanan



JAKARTA. Mendung masih terus membayangi pergerakan komoditas energi utama yaitu minyak. Lima pekan terakhir, sentimen negatif terus menekan minyak mentah.

Akhir pekan lalu, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) pengiriman Mei 2012 di New York Mercantile Exchange, tergerus 81 sen menjadi US$ 102,83.

Artinya, minyak WTI telah ambles 6,3% sejak menyentuh level tertinggi tahun ini di US$ 109,77 per barel, akhir Februari lalu. Minyak Brent di bursa ICE Futures Eropa juga turun 0,26% ke posisi US$ 121,21 per barel.


Pamor minyak makin suram karena pesimisme pasar terkait pertumbuhan ekonomi China, konsumen minyak terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

"Ekonomi China memang bukan terjun bebas, tapi tidak diragukan lagi bahwa mereka melambat," kata Bill O\'Grady, Chief Market Strategist Confluence Investment Management, seperti dikutip Bloomberg, Sabtu (14/4).

Pertumbuhan ekonomi China berada di level terendah dalam tiga tahun. Ini pula yang mendorong Negeri Panda ini memangkas penyulingan minyak mentahnya sebanyak 3%, Maret lalu.

Di sisi lain, produsen minyak terbesar Arab Saudi, berupaya menekan harga dengan menjamin bahwa stok yang ada masih cukup.

"Kami melihat periode harga tinggi yang cukup lama, dan kami tidak senang akan hal itu," ujar Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ali al-Naimi.

Perhitungan Bloomberg, Arab Saudi biasanya memproduksi 9,71 juta barel minyak per hari. Saat ini, Ali mengklaim pihaknya telah meningkatkan hingga 10 juta barel per hari.

Menunggu IranPhill Flynn, analis di PFGBest, menilai, pernyataan Arab Saudi ini jelaslah sinyal negatif harga minyak. "Pasar minyak sekarang berada lebih tinggi dari yang seharusnya jika dilihat dari sisi cadangan global," ujarnya.

Sementara itu, Iran masih terus melangsungkan negosiasi bersama lima negara anggota tetap Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) plus Jerman, terkait isu nuklir Iran. Pembicaraan sejenis terakhir dilangsungkan 15 bulan silam.

"Jika tercapai kesepakatan, dampaknya akan sangat besar terhadap harga," kata Michael Lynch, Direktur Strategic Energy & Economic Research. Kabar terakhir, juru bicara Uni Eropa, Michael Mann, menyatakan, bahwa pembicaraan berlangsung dalam "atmosfer yangmembangun."

Daru Wibisono, Analis Monex Investindo Futures, menilai, harga minyak dunia akan lebih banyak dibayangi sentimen pesimisme dari pertemuan Iran dengan negara-negara kuat. Di luar itu, terdapat sejumlah faktor yang cukup membahayakan harga minyak.

"Aksi konflik internal yang terjadi di negara Sudan, Yaman, Syria dan Libya membuat suplai minyak menjadi tersendat bahkan terhenti," jelas Daru. Sementara, di belahan dunia yang lain seperti Kanada dan beberapa negara pesisir laut Utara tengah menghadapi masalah teknis dalam operasionalnya.

Menilik hal itu, Daru optimis minyak masih berpotensi menguat lagi kendati krisis Iran mereda. "Secara teknikal, setelah menembus level penting US$ 102,10, tekanan bullish akan memicu minyak ke beberapa resisten penting yaitu US$ 103,90 hingga US$ 105,50 per barel," ujarnya.

Iwan Cahyo, analis Nine Star Futures, memprediksi secara teknikal sebulan ini harga minyak masih upside di level atas US$ 104,77-US$ 107,07 dan batas bawah di US$102,46 per barel," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri