KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren harga minyak diyakini masih bisa
bullish sepanjang tahun ini. Hingga akhir tahun, diproyeksikan harga minyak bisa bergerak ke level US$ 65 per barel. Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf menjelaskan naiknya cadangan minyak Amerika Serikat yang diumumkan Energy Information Administration (EIA) pekan lalu menjadi 21,56 juta barel menjadi sentimen
bearish. Di samping itu, EIA juga merilis data cadangan bensin dalam negeri turun 243,5 juta barel yang menandakan ada kenaikan konsumsi bensin di dalam negeri.
"Nah, itu mampu mengimbangi sentimen bearish kenaikan cadangan minyak US, lalu distilasi juga turun menjadi 143 juta barel yang terbesar sejak 2003 penurunannya dan ini mampu mengimbangi kenaikan minyak tersebut," ujarnya kepada kontan.co.id, Kamis (4/3). Di sisi lain, Alwi bilang sentimen utama minyak dari pertemuan OPEC+ yang sedang mempertimbangkan untuk tidak menghentikan pengurangan produksi dari Maret-April. Menurutnya, hal itu seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya. "Ini yang membuat harga minyak masih bertahan," tuturnya.
Baca Juga: Harga minyak naik, bagaimana dampaknya terhadap Chandra Asri (TPIA)? Ia menyebut, untuk prospek harga sangat tergantung dari hasil pertemuan OPEC+. Menurutnya, jika OPEC+ mempertahankan kuota di level saat ini bisa jadi
bullish buat minyak ditambah lagi sentimen-sentimen positif dari stimulus, kemudian peluncuran vaksin yang mendorong sentimen minyak. Mengutip Bloomberg, pada perdagangan kamis (4/3) pukul 19.20 WIB, harga minyak
west texas intermediate (WTI) di US$ 61,29 per barel, menguat 0,01% dalam sehari. Namun, pada pukul 15.02 WIB, harga minyak sempat menguat 0,78% di US$ 61,76 per barel. Senada, Analis Central Capital Futures, Wahyu Laksono berpendapat untuk tren harga minyak masih bullish. "Penopang
bullish dari super stimulus moneter dan fiskal, terutama AS dan Arab Saudi yang pro cut," sebutnya. Wahyu bilang, untuk jangka pendek ini memang pertemuan OPEC+ menjadi isu utama. Karenanya, jelang pertemuan harga wajar koreksi. Untuk prospek sepanjang semster I-2021, ia menyebut faktor utama akan dipengaruhi kebijakan moneter dari The Fed yang akan dilihat pengaruhnya terhadap dolar AS dan komoditas. "Tren komoditas, selama masih berjalan apalagi tren super cycle, maka
outlook bullish bisa berjalan," katanya. Sementara untuk hambatannya, ia proyeksikan dari isu perlambatan pertumbuhan di China dan juga ancaman krisis terkait kecemasan inflasi. Kendati begitu, ia menilai sejauh ini
outlook masih
bullish. Wahyu memproyeksikan di semester I ini, harga minyak akan berkisar US$ 45 - US$ 75 per barel. Sementara, Alwi memproyeksikan untuk jangka pendek, harga minyak WTI pada area support akan berada di level 58,58 dan resistance berada di level 63,78. Untuk jangka panjang, keduanya sependapat harga minyak kemungkinan akan bergerak di level US$ 65 per barel. "Harga minyak terkait juga dengan sentimen
risk-on dan juga keberhasilan produk vaksinasi yang bisa mendorong pemulihan ekonomi global. Ketika ekonomi global tumbuh, maka permintaan bahan bakar juga akan meningkat dan kalau dilihat dari grafiknya, tren minyak ini masih
bullish dan tidak menutup kemungkinan bergerak ke US$ 65 per barel untuk jangka panjang," tutup Alwi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi