Harga minyak terancam ke US$ 30



JAKARTA. Harga minyak mentah dunia tidak akan beranjak ke jalur bullish, setidaknya sampai tahun 2018. Begitu ramalan pasar saat ini. Produksi diyakini tetap melimpah ruah dan melampaui permintaan, sehingga harga minyak yang pernah mencapai US$ 100 per barel sulit kembali ke masa kejayaannya.  

Bukan hanya harga minyak tertahan, para produsen minyak juga berjuang agar harga tak terus merosot.

Fereidun Fesharaki, Chairman dari Consulting Group FGE memperkirakan, jika negara-negara yang tergabung dengan OPEC dan aliansinya tak melakukan pemangkasan produksi minyak lebih besar, harga minyak bisa merosot sampai US$ 30 per barel.


Sebanyak 14 negara yang terbagung dengan Organization of the Petroleum Exporting Countries berkomitmen memangkas produksi minyak 1,2 juta barel per hari (bpd) dan negara lainnya menambahnya sehingga muncul komitmen pemangkasan 1,8 juta bpd.

Namun, sejak program ini dijalankan Januari 2017, harga minyak mentah merosot 21,7%. Harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) di pasar Nymex untuk pengiriman Juli 2017 tersangkut di US$ 44,46 per barel pada Kamis lalu (15/6), harga terendah dalam tujuh bulan. 

"Masalahnya, terlalu banyak minyak di pasar. Terlalu banyak minyak di Amerika Serikat, di Libya, dan Nigeria," kata Fesharaki, seperti dikutip CNBC.

Bahkan, dengan kenaikan permintaan minyak, dia memperkirakan, harga minyak dunia tahun depan akan turun ke kisaran US$ 30 - US$ 35 per barel untuk sementara waktu. Harga minyak selevel itu pernah terjadi pada awal 2016, dengan harga US$ 37 per barel.

Fesharaki, yang sudah mempelajari pasar energi di Asia Pasifik dan Timur Tengah sejak tahun 1980-an menilai, batas psikologis produksi minyak Arab Saudi sebesar 9 juta barel perhari. "Harus ada pemangkasan 700.000 bpd segera atau harga akan terus turun. Bahkan jika ini dilakukan, harus ada pemangkasan lagi tahun depan. Jadi ini bagaimana kesiapan Saudi untuk mengurangi produksi," kata dia. 

OPEC saat ini berkontribusi 40% dari produksi minyak dunia.

Produksi minyak AS

International Energy Agency (IEA) memperkirakan, bukan hanya sulit mempertahankan volume produksi saat ini, tapi akan ada kenaikan. Organisasi yang memiliki 29 negara anggota ini memperkirakan, tahun depan ada kenaikan produksi 1,5 juta bpd dari negara-negara non-OPEC. Angka ini masih lebih tinggi ketimbang kenaikan permintaan 1,4 juta barel di tahun 2018.

Peningkatan suplai ini diyakini didorong oleh produksi minyak AS.

AS terus memompa minyak dan dalam setahun terakhir, produksi minyak AS naik 10% menjadi 9,33 juta bpd. Angka ini hanya selisih sedikit dibanding Saudi yang memproduksi 10,1 juta barel per hari.

Sedangkan badan statistik minyak AS, Energy Information Administration (EIA) memperkirakan, produksi minyak domestik AS malah akan naik 460.000 bpd di akhir tahun ini, ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu penurunan 80.000 bpd.

Sedangkan OPEC berekspektasi, produksi AS bisa naik sebesar 80.000 bpd pada tahun 2017.

April lalu, Kepala Riset Energi Eropa di Goldman Sachs Michele Della Vigna menilai, Amerikalah yang harus memangkas produksi, bukan OPEC lagi. Pasalnya, produksi minyak non-OPEC yang membuat rencana OPEC menaikkan harga minyak gagal lagi.

"Saya rasa pasar sudah sadar bahwa penyesuaian harus terjadi di kilang minyak onshore AS, dan di situlah pasar melihatnya sebagai fokus," katanya, dikutip CNBC.

Tapi, AS tidak akan menahan produksi dalam waktu dekat. Meski perusahaan-perusahaan di AS memompa minyak dengan cara hingar bingar, terutama di Texas, mereka juga merasa dampak dari penurunan harga minyak. Di sisi lain, mereka menemukan inovasi menggali minyak serpih cukup murah dan membawa harapan bagi sektor energi AS. 

Setidaknya 123 perusahaan di Amerika Utara sudah mengajukan bangkrut sejak awal 2015. Produsen yang bertahan seperti Exxon Mobil dan Chevron memotong biaya operasional besar-besaran demi pemberian dividen. Lebih dari 150.000 pekerja kehilangan pekerjaannya di sektor minyak, meski sekarang sudah mulai pulih.

"Ada dampak dari satu terhadap lainnya. Agar harga naik lagi, pasar harus melihat cadangan AS turun dan harus terlihat pelambatan pada pertumbuhan produksi minyak serpih AS," kata Daniel Yergin, Energy Historian and Vice Chairman di IHS Market, pada NYTimes.

Arab Saudi

Meski begitu, OPEC dan negara yang sepakat memangkas produksi minyak merasa tidak perlu mengevaluasi kesepakatan yang sedang berjalan.

Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih mengatakan pada Minggu lalu (11/6), mengaku sadar akan ada penurunan cepat harga minyak dalam tiga-empat bulan ke depan.

Di sisi lain, OPEC juga menyalahkan AS atas kegagalan kebangkitan harga minyak. "Kebangkitan produksi minyak serpih AS yang tidak diduga membuat OPEC frustasi dengan upaya menekan stok global, dan juga ini mengancam pangsa pasar di waktu bersamaan," kata Badr Jafar, Presiden Crescent Petroleum di Uni Emirat Arab.

Meski begitu, memangkas produksi minyak tak mudah bagi OPEC. Mei lalu, produksi minyak OPEC malah naik 290.000 barel per hari karena Libya dan Nigeria dibebaskan dari program pemangkasan ini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia