Harga Minyak Terbanting ke Level US$ 36,22 per Barel



NEW YORK. Harga minyak mentah kian terbanting pada perdagangan hari Kamis (18/12) seiring dengan lay off massal pekerja AS menggiring negeri uwak sam ini pada resesi yang kian mendalam dan memberi sinyal pembelanjaan energi yang kian kecil. Light, sweet crude untuk pengiriman Januari tergelincir 9%, atau US$ 3,84, menjadi US$ 36,22 per barel setelah sempat terperosok menjadi US$ 35,98, level yang paling rendah sejak Juni 2004. Kontrak minyak untuk Januari di tutup pada hari Jumat (19/12) ini. Sementara itu light, sweet crude untuk pengiriman Februari juga terjungkal US$ 2,94 menjadi US$ 41,67. "Tidak ada permintaan untuk minyak saat ini," kata analis Peter Beutel dari Cameron Hanover. Tingginya harga minyak untuk kontrak Februari membuat trader dan briker percaya bahwa upaya OPEC untuk mengurangi produksi minyaknya sebesar 2,2 juta per barel per hari justru akan menciutkan suplai. Sebelumnya, OPEC juga telah memangkas produksi minyaknya sebesar 2 juta barel per hari. Dus, total pengurangan produksi minyak dunia sebesar 4,2 juta barel per hari. "Pasar mengatakan bahwa pengirisan produksi minyak OPEC ini akan punya dampak, tapi tidak secara langsung," kata Beutel. Analis dan trader Stephen Schork mengatakan, "Orang-orang yang masih memegang kontrak di bulan Januari masih memegang asumsi harga minyak dunia US$ 40 per barel, akan terus memegang patokan ini. Mereka siap-siap "kehilangan kemejanya". Soalnya, harga minyak dunia akan semakin jatuh." Data perekonomian tampak semakin mengerikan di AS, Eropa dan Asia. Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan pad hari Kamis kemarin bahwa orang-orang yang mengajukan lamaran baru untuk jobless benefit per 13 Desember sebanyak 554.000 orang. Angka ini tercatat paling tinggi sejak Desember 1982 yang hanya membukukan setengah dari angka tersebut. Tak hanya soal tenaga kerja. Conference Board, lembaga riset swasta, menyebutkan bahwa indeks perekonomian di AS tergelincir 0,4% pada bulan November. Indeks ini merupakan prediksi aktivitas ekonomi untuk jangka waktu tiga hingga enam bulan ke depan. Data yang muncul ini sudah melorot 2,8% hingga November, penurunan yang paling buruk sejak 1991. Seiring pekerja dan perusahaan membelanjakan uangnya lebih sedikit, para analis juga semakin memotong prediksi konsumsi minyak dunia. Misalnya saja JPMorgan yang kemarin juga meraut target konsumsi minyak 2009 dari US$ 69 menjadi US$ 43 per barel lantaran perekonomian dunia yang memburuk akan semakin berlanjut dan penyusutan konsumsi minyak pada tahun 2008 dan 2009. Rupanya, aksi OPEC dan merosotnya harga minyak telah gagal untuk membuat permintaan ini terkerek. "Secara tak langsung, OPEC tak punya kekuatan saat ini. Mereka kini harus lebih sabar dan menunggu kenaikan permintaan," kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Association.


Editor: