KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Harga minyak ditutup melemah tipis pada perdagangan akhir pekan ini. Namun, minyak tetap mengamankan kenaikan mingguan karena prospek permintaan yang lebih kuat dan tanda-tanda pemulihan ekonomi di China dan Amerika Serikat (AS) yang mengimbangi kekhawatiran tentang meningkatnya infeksi Covid-19 di negara-negara besar lainnya. Jumat (16/4), harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman Juni 2021 turun 17 sen, atau 0,3% ke level US$ 66,77 per barel. Benchmark harga minyak global tersebut ditutup melesat 6,07% pada minggu ini, setelah naik dalam empat sesi terakhir. Sementara itu, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Mei 2021 melemah 33 sen, atau 0,5% menjadi US$ 63,13 per barel. Di pekan ini, harga WTI sudah melonjak 6,42%.
Keperkasaan minyak di pekan ini dimulai saat pertumbuhan ekonomi China di kuartal pertama mencapai 18,3% secara yoy. Menyusul kemudian, peningkatan besar dalam penjualan ritel di AS dan penurunan klaim pengangguran yang dirilis pada hari Kamis (15/4) membuat optimisme perbaikan ekonomi global semakin tampak. "Data ekonomi yang kuat, didorong oleh cek stimulus Biden senilai US$ 1.400, merupakan perkembangan positif yang sangat besar untuk patch energi," kata Bob Yawger, Director of Energy Futures Mizuho. Baca Juga: Naik 5 hari beruntun, harga minyak mentah tembus di atas US$ 67 per barel Minggu ini, International Energy Agency (IEA) dan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) meningkatkan perkiraan mereka untuk pertumbuhan permintaan minyak pada tahun 2021. Hal tersebut mengutip rebound yang lebih kuat dari perkiraan dalam aktivitas di ekonomi tertentu. Perkiraan tersebut juga didukung oleh data pemerintah AS hari Rabu yang menunjukkan persediaan minyak mentah di Negeri Paman Sam secara keseluruhan turun 5,9 juta barel karena aktivitas penyulingan meningkat. Namun, tidak semua ekonomi pulih, karena tingkat infeksi virus corona India mencapai rekor baru. Di saat yang sama, kanselir Jerman pada hari Jumat mengatakan gelombang ketiga virus membuat negara itu berada dalam cengkeraman pandemi.