Harga Minyak Tertekan Peningkatan Pasokan, Mengimbangi Efek Timur Tengah dan Badai



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak menguat tipis pada hari ini setelah melemah dua hari terakhir. Data Amerika Serikat (AS) menunjukkan peningkatan persediaan minyak mentah. Tetapi penurunan harga dibatasi oleh risiko gangguan pasokan Iran yang disebabkan oleh konflik Timur Tengah dan Badai Milton di AS.

Kamis (10/10) pukul 6.55 WIB, harga minyak WTI kontrak November 2024 di New York Mercantile Exchange menguat 0,26% ke US$ 73,42 per barel. Harga minyak stabil dalam dua hari terakhir setelah anjlok di hari Selasa (8/10) lalu.

Harga minyak mentah Brent ditutup pada US$ 76,58 per barel pada Rabu (9/10). Harga minyak turun 60 sen atau 0,8% dalam sehari. Kemarin, harga minyak mentah WTI AS ditutup 0,5%, pada US$ 73,24 per barel.


Persediaan minyak mentah AS melonjak 5,8 juta barel menjadi 422,7 juta barel minggu lalu, menurut data Badan Informasi Energi atau Energy Information Administration (EIA). Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekspektasi analis dalam jajak pendapat Reuters untuk kenaikan 2 juta barel.

Baca Juga: Bahlil Siapkan Revisi Aturan untuk Tingkatkan Lifting Minyak Nasional

"Peningkatan tersebut lebih kecil dari yang diperkirakan pada hari Selasa oleh kelompok perdagangan American Petroleum Institute, yang juga membatasi penurunan harga minyak," kata Bob Yawger, direktur minyak berjangka di Mizuho di New York seperti dikutip Reuters.

Dia menambahkan bahwa penurunan yang lebih besar dari yang diperkirakan dalam bensin dan sulingan juga membantu menahan dampak pada harga.

"Ada unsur bullish dalam jumlah bensin, yang mungkin merupakan rebound dari badai," kata Yawger, mengacu pada Badai Helene, yang melanda AS akhir bulan lalu.

AS bersiap menghadapi badai besar kedua, Badai Milton, yang memunculkan tornado dan hujan lebat beberapa jam sebelum diperkirakan akan melanda Florida pada hari Rabu. Badai tersebut telah mendorong peningkatan permintaan bensin di negara bagian tersebut. Sekitar seperempat stasiun pengisian bahan bakar kehabisan persediaan, yang telah membantu mendukung harga minyak mentah.

Baca Juga: Harga Komoditas Terus Bergejolak, Migas Masih Jadi Idola

TIMUR TENGAH DALAM FOKUS

Pasar tetap waspada terhadap potensi serangan Israel terhadap infrastruktur minyak Iran, bahkan setelah harga minyak anjlok lebih dari 4% pada hari Selasa karena kemungkinan tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Hizbullah dan Israel.

Presiden AS Joe Biden berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tentang rencana Israel terkait produsen minyak Iran dalam panggilan telepon pada hari Rabu. Baik Gedung Putih maupun kantor Netanyahu tidak memberikan rincian tentang diskusi tersebut.

"Kami masih gelisah dengan situasi Timur Tengah," kata John Kilduff, mitra di Again Capital di New York. "Spekulasi serangan terhadap Iran bernilai sekitar US$ 5 per barel," ujar dia.

Baca Juga: Harga BBM Oktober Turun, Bandingkan BBM Pertamina, Shell, BP dan Vivo Kamis (10/10)

Bahkan dengan ancaman terhadap wilayah Timur Tengah penghasil minyak sebagai hal utama, masalah ekonomi di China, importir minyak mentah utama, membuat harga sulit naik.

"Meskipun ketegangan di Timur Tengah saat ini meningkat, mudah untuk melupakan bahwa pasar minyak sangat rentan terhadap koreksi karena narasi makro bearish yang sedang berlangsung yang berpusat pada China," kata Harry Tchilinguirian, kepala penelitian di Onyx Capital Group.

Tiongkok mengatakan pada hari Selasa bahwa mereka "sangat yakin" akan mencapai target pertumbuhan setahun penuhnya. Tetapi China menahan diri untuk tidak memperkenalkan langkah-langkah fiskal yang lebih kuat, mengecewakan investor yang telah mengandalkan lebih banyak dukungan untuk ekonomi.

Baca Juga: EIA Memangkas Proyeksi Permintaan Minyak Global dan AS Untuk Tahun 2025

Investor khawatir tentang pertumbuhan yang lambat yang melemahkan permintaan bahan bakar di Tiongkok, importir minyak mentah terbesar di dunia.

Permintaan yang lemah terus mendukung prospek fundamental. EIA pada hari Selasa menurunkan perkiraan permintaannya untuk tahun 2025 karena melemahnya aktivitas ekonomi di Tiongkok dan Amerika Utara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati