JAKARTA. Harga minyak terus tertekan. Padahal, pasokan terancam akibat badai dan hujan lebat yang melanda Teluk Meksiko hingga selatan Florida, mengganggu kegiatan produksi minyak dan gas di kawasan itu. Namun, pernyataan Federal Reserves (The Fed) mengenai indeks ekonomi di Philadelphia yang menandakan kontraksi manufaktur terbesar selama hampir setahun, menyandung minyak. Kontrak pengiriman minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk Agustus 2012, Jumat (22/6) pukul 16:30 WIB, senilai US$ 78,53 per barel. Harga itu sudah naik tipis, dari penutupan Kamis (21/6), yaitu US$ 78,20 per barel, yang merupakan harga terendah sejak 5 Oktober 2011.
"
Rebound harga kemarin terjadi hanya karena sehari sebelumnya telah terjadi penurunan harga yang tajam," ujar Ken Hasegawa,
Commodity Derivatives Sales Manager Newedge Group, seperti dikutip
Bloomberg. Ia memprediksi, minyak WTI akan diperdagangkan di kisaran US$ 75 - US$ 82 per barel, hingga akhir bulan ini. Ia memprediksi, volatilitas harga minyak setidaknya masih akan berlanjut hingga September mendatang. Pada periode itu, biasanya badai terjadi di Laut Atlantik, yang bisa berbuntut pada terganggunya produksi minyak. Minyak Brent juga kembali menyentuh harga di bawah US$ 90 per barel, pada Kamis (21/6), menjadi US$ 89,23 per barel. Jika dihitung dari harga tertingginya di tahun ini, minyak Brent telah luruh 39,13%. Kemarin, harga minyak Brent, mengalami technical rebound, menjadi US$ 90,10 per barel. Pasokan berlebih
Research and Analyst Monex Investindo Futures, Ariana Nur Akbar, menuturkan, kejatuhan harga minyak dipengaruhi kekhawatiran pasar terhadap memburuknya perekonomian di China, Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Proyeksi suram muncul karena tidak ada stimulus yang agresif untuk mengatasi pelambatan pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Karena permintaan terhadap minyak jalan di tempat, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), pada 14 Juni lalu, telah menyepakati untuk menjaga kuota produksi sebesar 30 juta barel per hari. Sebelum pertemuan, sejumlah negara anggota OPEC, termasuk Iran, berharap produksi minyak melandai. Kubu pemangkasan produksi ini ingin melihat, penurunan harga minyak terhenti. "Jika harga minyak Brent telah jatuh di bawah US$ 90 per barel, pelaku pasar mengharapkan adanya tindakan dari OPEC," kata Hasegawa.Analis SoeGee Futures, Nizar Hilmy, menambahkan, penguatan nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) juga mempengaruhi arah pergerakan harga minyak, saat ini.
“Berita buruk yang terjadi di negara AS, Eropa dan China berakibat terhadap jatuhnya harga saham dan komoditas. Akibatnya, pasar beralih ke aset yang dinilai aman, seperti dollar AS,” ujar Nizar. Sentimen positif untuk minyak bisa datang dari pertemuan European Central Bank (ECB), yang dijadwalkan bulan depan. Ada harapan ECB akan mengucurkan dana talangan bagi Spanyol. Bila pasar menganggap bantuan itu memadai untuk menolong perekonomian Spanyol, maka harga minyak bisa kembali terangkat. Sebelum itu terjadi, pergerakan harga minyak tetap fluktuatif, dan cenderung mengarah ke bawah. Ariana memprediksi, nilai kontrak pengiriman minyak jenis WTI akan turun hingga kisaran US$ 77,62-US$ 75,30 per barel, di pekan depan.Sedang Nizar menghitung, pelemahan harga minyak masih berlanjut hingga mencapai
support US$ 74 per barel dan
resistance US$ 80 per barel. "Ada potensi minyak akan
rebound, pertengahan minggu depan," kata Nizar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini