KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump yang mendukung harga minyak mentah dunia di level rendah semakin menyeret harga minyak turun hingga sentuh rekor harga terendah. Mengutip Bloomberg, Jumat (23/11) pukul 17.00 WIB harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 tercatat melemah 2,64% ke US$ 53,19 per barel. Sementara dalam sepekan harga minyak WTI melemah 6,16%. Analis Asia Trade Trade Points Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan, harga minyak semakin menurun karena Trump mendukung tindakan Arab Saudi yang belum memangkas produksi minyak.
Trump yang berharap harga minyak tetap rendah akan terus menggejot produksi dan cadangan minyak di AS sehingga
oversupply minyak terjadi. Deddy mengatakan dengan harga minyak yang rendah maka Trump merasa kebijakan normalisasi suku bunga The Fed akan lebih lancar dan dapat mendukung perbaikan ekonomi di AS. Senada, Analis Monex Investindo Futures, Putu Agus Pransuamitra mengatakan Trump yang senang bila harga minyak terus turun menyebabkan harga minyak masih tertekan. "Kalau Trump menyatakan harga minyak lebih baik turun maka ia akan berusaha mempengaruhi OPEC untuk tidak memangkas produksi lagi, hal ini jadi sentimen negatif bagi harga minyak," kata Putu. Oleh karena itu cadangan minyak dan produksi minyak di AS naik. Data dari Energy Information Administration (EIA) AS menunjukkan cadangan minyak komersiil AS naik hingga 4,9 juta barel menjadi 446,91 juta barel di pekan lalu. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi sejak Desember tahun lalu. Sedangkan, produksi minyak mentah AS juga masih berada di level rekor mencapai 11,7 juta barel per hari. Deddy menambah lemahnya harga minyak juga dipengaruhi oleh meningkatnya kegiatan pengeboran minyak di AS yang jumlahnya mencapai 888 sumur aktif. Harga minyak Deddy proyeksikan makin menurun karena EIA memperkirakan jumlah produksi minyak di AS bisa meningkat jadi 12 juta barel hingga 13 juta barel setiap harinya di tahun depan. Sementara, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan permintaan minyak akan surut karena belum selesainya ketegangan perang dagang AS dan China yang menjadi sentimen negatif bagi pertumbuhan ekonomi global hingga tahun depan. Sambil menunggu pertemuan OPEC dengan negara sekutu produksi minyak, yaitu Rusia di Desember mendatang, Deddy memproyeksikan
bearish masih akan menyelimuti harga minyak. OPEC akan mendorong pemotongan pasokan 1 juta bph hingga 1,4 juta bph ketika bertemu pada 6 Desember mendatang. Namun, utusan OPEC untuk Uni Emirat Arab mengatakan sangat mungkin bahwa kelompok itu akan mengurangi
output tapi tingkat pemangkasan yang pasti belum diputuskan. Secara teknikal Deddy menganalisis harga berada di bawah MA 50, 100, dan 200 menunjukkan untuk jangka panjang harga minyak masih akan
bearish.
Stochastic berada di level 22 juga menunjukkan tanda
bearish. RSI berada di area 42 menunjukkan
oversold berpotensi
rebound. MACD berada di area negatif. Deddy merekomendasikan
sell untuk perdagangan Senin (26/11) dengan rentang US$ 52 per barel hingga US$ 54 per barel.
Putu juga memproyeksikan penurunan harga minyak masih akan berlanjut. "Seharusnya ada peluang rebound tetapi karena harga terus tertekan karena pernyataan Trump jadi belum ada peluang harga minyak naik dalam jangka pendek," kata Putu. Untuk tahun depan Putu memproyeksikan dengan kondisi produksi AS yang diperkirakan meningkat dan OPEC tidak menyetujui untuk menurunkan produksi minyaknya di tahun depan maka harga minyak akan bergerak melemah atau
sideways. Putu memproyeksikan harga minyak di Senin (26/11) berada di US$ 51,80 per barel-US$ 55,20 per barel. Sedangkan untuk sepekan berada di US$ 50 per barel-US$ 57,50 per barel. Putu merekomendasikan
sell on rally. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati