Harga minyak WTI kembali mendekati US$ 60 per barel



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sentimen masih berlangsungnya pengurangan suplai oleh Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan sanksi AS terhadap Iran serta Venezuela berpotensi menopang kenaikan harga minyak dalam jangka pendek.

Mengutip Bloomberg, pukul 17.02 WIB, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Mei 2019 tercatat di level US$ 59,55 per barel. Angka ini naik 1,24% dari harga kemarin US$ 58,82 per barel.

Analis Monex Investindo Futures, Faisyal menilai, kenaikan harga minyak terbatas dan bahkan bisa berbalik turun jika pasar kembali mencemaskan kondisi perlambatan global yang dapat memicu tekanan turun permintaan bahan bakar.


Harga minyak telah meguat hingga dobel digit sejak awal tahun, dipicu oleh upaya yang dilakukan oleh OPEC dan sekutunya yang non-afiliasi seperti Rusia, yang berjanji untuk membatasi suplai sebesar 1,2 juta barel per hari pada tahun ini untuk menopang pasar.

Harga minyak juga ditopang oleh sanksi AS terhadap eksportir minyak seperti anggota OPEC seperti Iran dan Venezuela. Namun, analis mengatakan bahwa harga minyak kemungkinan dapat bergerak lebih tinggi jika saat ini tidak ada outlook perlambatan ekonomi yang diperkirakan mulai menekan turun konsumsi bahan bakar.

Faisyal dalam analisisnya Selasa (26/3) memprediksi pergerakkan harga minyak pada perdagangan besok akan berada di level support US$ 58,80, US$ 58,30, dan US$ 57,70 per barel. Sementara level resistance antara US$ 59,60, US$ 60,10, dan US$ 61,00 per barel.

Analis menyebut jika sebenarnya harga minyak dunia saat ini bisa lebih tinggi lagi jika tidak ada perlambatan ekonomi global, yang saat ini mulai berimbas pada resesi ekonomi dan penurunan konsumsi bahan bakar. "Saat ini risiko resesi kembali muncul ke permukaan sejak 2008," ujar Ole Hansen, Kepala Komoditas Saxo Bank, sebagaimana dilansir dari Reuters.

Sementara analis JP Morgan Chase Bank juga menyebut penghasilan perusahaan global melambat dan tumbuh 1% pada laporan empat bulanan. "Di luar China, industri di kawasan Asia sebenarnya sudah mulai berkontraksi saat memasuki awal tahun," ungkap JPMorgan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati