KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang kuartal pertama, harga minyak mentah menorehkan kinerja positif. Meski begitu, harga minyak bergejolak di tengah sentimen kenaikan produksi minyak Amerika Serikat yang kian tinggi. Mengutip Bloomberg, Kamis (29/3), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei 2018 di New York Mercantile Exchange (NYMEX) ditutup pada level US$ 64,94 per barel. Artinya, sepanjang kuartal pertama tahun ini, harga minyak sudah menanjak 7,8% dari posisi akhir tahun lalu, US$ 60,27 per barel. Meski begitu, analis Global Kapital Investama, Nizar Hilmy, menilai, harga minyak sejak awal tahun hingga akhir Maret lalu, cenderung bergerak dalam area konsolidasi. Harga betah bertengger di kisaran US$ 58-US$ 66 per barel.
Pada Januari lalu, harga minyak menanjak hingga sempat menyentuh level US$ 66 per barel lantaran pasar merespon putusan OPEC dan Rusia yang memperpanjang kesepakatan pemangkasan produksi minyak. Namun, memasuki Februari harga mulai terkoreksi akibat aksi ambil untung serta isu kenaikan
ouput minyak AS yang semakin kencang. "Harga minyak yang tinggi membuat AS menggenjot produksi shale oil hingga mencapai 10,4 juta barel per hari. Ini menyebabkan harga minyak tertekan," ujar Nizar, (4/4). Memasuki Maret, harga minyak kembali terdorong. Pasar berharap OPEC dan Rusia melanjutkan kebijakan pemangkasan produksi yang akan berakhir akhir tahun nanti. Harapan diperkuat oleh Arab Saudi yang mengusulkan agar kesepakatan dilakukan dalam jangka panjang 10-20 tahun. Nizar menambahkan, isu geopolitik antara Arab Saudi dan Iran juga memberi sentimen positif bagi harga. Rivalitas kedua negara yang terus bergulir berpotensi membuat aktivitas produksi terhambat. Nizar menilai, pola konsolidasi masih akan berlanjut pada harga minyak. Namun, di kuartal kedua setidaknya ada sentimen positif yang bisa menguatkan. Di antaranya, meningkatnya permintaan bahan bakar minyak (BBM) di AS akibat
driving season selama musim panas. "Untuk jangka panjang, permintaan terhadap minyak mentah juga masih terlihat cerah," imbuh Nizar. Pasalnya, IEA memproyeksi permintaan minyak dunia akan naik menjadi 104,7 juta barel per hari pada 2023 mendatang. Asia menjadi wilayah dengan permintaan terbesar. Namun, membengkaknya produksi minyak AS masih menjadi ancaman. AS diproyeksi akan mampu memproduksi hingga 11 juta barel per hari dan menggantikan posisi Rusia sebagai produsen minyak terbesar di dunia.
Pasar juga masih menanti lanjutan kesepakatan pemangkasan produksi oleh Rusia dan negara-negara penghasil minyak lainnya yang tergabung dalam OPEC. Untuk itu, Nizar memproyeksi harga minyak mentah masih akan bergerak dalam rentang US$ 60-US$ 70 per barel sepanjang kuartal-II 2018. Sementara, hingga akhir tahun ini, Nizar memprediksi harga minyak akan bergulir dalam kisaran US$ 55-US$ 75. "Harga bisa tembus di atas US$ 70, dengan catatan pemangkasan OPEC dan Rusia berlanjut, permintaan stabil, dan produksi AS bisa turun," paparnya. Mengutip Bloomberg, Rabu (4/4) pukul 18.07 WIB, harga minyak WTI untuk pengiriman Mei 2018 di New York Mercantile Exchange (NYMEX) turun 1,72% ke level US$ 62,42 per barel. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini