Harga Nikel Jatuh, Kinerja INCO Makin Terpuruk



JAKARTA. Tren booming sektor pertambangan, ternyata, tak berlaku untuk komoditi nikel. Buktinya, harga komoditi yang satu ini justru semakin terpuruk. Kondisi ini jelas memberi senti­men negatif bagi emiten saham seperti PT International Nickel Indonesia Tbk (INCO).

Ya, tren pergerakan harga ni­kel memang semakin mengkha­watirkan. Bahkan, Selasa pekan lalu (24/6), harga kontrak nikel di London Metal Exchange (LME) sempat tertekan hingga harga terendah tahun ini, yaitu US$ 21.500 per ton. Padahal, pada tanggal 4 Mei tahun lalu, harga nikel mencapai rekor ter­tinggi US$ 51.600 per ton. Arti­nya, dari rekor itu, harga nikel sudah tergerus sebesar 58,3%.

Karenanya, jangan heran jika kinerja INCO pada kuartal I 2008 tak memuaskan. Pada pe­riode tersebut, laba bersih INCO pada anjlok 39% dibandingkan setahun lalu, menjadi US$ 139,60 juta saja. "Mau bagaimana lagi? Semua ini pasar yang menentu­kan," ungkap Indra Ginting, Sek­retaris Perusahaan INCO.


Selain itu, volume penjualan INCO tahun ini juga tidak ber­ubah banyak dibandingkan ta­hun lalu. "Tahun ini, kami me­nargetkan bisa menjual 77.000 ton nikel," kata Indra. Adapun tahun lalu, INCO menjual nikel sebanyak 76.800 ton. Indra men­jelaskan, INCO menargetkan bisa meningkatkan volume pen­jualan secara signifikan pada 2011. "Kami berniat menjual se­banyak 91.000 ton," katanya.

Yusuf Ade Winoto, Analis DBS Vickers Securities, menghitung, harga rata-rata nikel di pasar internasional hanya mencapai US$ 27.500 per ton tahun ini. Nah, menurut Lanang Trihar­dian, Analis Syailendra Capital, penurunan harga nikel itu akan berdampak buruk bagi penda­patan INCO. "Sebab, 100% pen­dapatan INCO ditopang oleh ni­kel," katanya. Padahal, biaya produksi yang ditanggung INCO pun semakin berat. Maklum saja, untuk memproduksi nikel, INCO masih menggunakan tena­ga listrik. Nah, di era krisis ener­gi seperti sekarang, mereka pasti menanggung biaya listrik yang lebih tinggi.

INCO memang mempunyai rencana untuk membuat ben­dungan Pembangkit Listrik Te­naga Air (PLTA). "Kalau proyek pembangkit listrik di Sulawesi itu selesai, mungkin, INCO akan sedikit terbantu," ujar Lanang. Sayang, dampak positif dari pro­yek itu baru akan terasa sekitar dua tahun ke depan.

Kinerja akan turun drastis

Analis Panin Sekuritas Bona Tobing meramal, pendapatan INCO akan turun menjadi US$ 1,4 miliar tahun ini. "Laba ber­sihnya turun jadi US$ 500 juta," imbuhnya. Maklum, Bona mem­prediksi, harga rata-rata nikel hanya US$ 25.000 per ton pada 2008 ini. Sekadar perbandingan, tahun lalu, INCO mencetak pen­dapatan US$ 2,3 miliar dan laba bersih US$ 1,1 miliar pada 2007 lalu. Artinya, menurut hitungan Bona, pendapatan dan laba ber­sih 2008 INCO bisa anjlok 39% dan 55% tahun ini. Tapi, Bona masih merekomendasikan beli untuk saham ini. Alasannya, "Harga wajar INCO seharusnya Rp 7.000 per saham," katanya.

Adapun Yusuf meramal, INCO akan mencatatkan pendapatan US$ 1,7 miliar dan laba bersih US$ 730 juta tahun ini. Artinya, pendapatan INCO akan melorot 26%. Adapun laba bersih INCO akan turun 33,6%. Karenanya, Yusuf merekomendasikan jual untuk saham INCO. "Kami mem­berikan target harga Rp 5.000 per saham," ungkapnya.Kemarin (30/6), saham INCO dihargai Rp 6.050 per saham. Artinya, harga saham INCO su­dah tergerus 37% terhitung awal tahun ini. Bahkan, sejak stock split 15 Januari 2008, harga sa­ham ini sudah tergerus 39,8%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test