JAKARTA. Harapan naiknya permintaan serta turunnya angka produksi membuat prospek nikel cukup positif. Namun, tekanan dari penguatan dollar AS terus membayangi pergerakan harga. Mengutip Bloomberg, Jumat (18/3) harga nikel kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange melemah 2,64% ke level US$ 8.660 per metrik ton dibanding sehari sebelumnya. Dalam sepekan terakhir, nikel tergerus 1,92%. Nikel sempat terangkat oleh keputusan The Fed menahan tingkat suku bunga. Kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) yang lebih akomodatif diharapkan mampu mendukung permintaan nikel. Namun, di akhir pekan harga nikel kembali tertekan seiring dengan menguatnya nilai tukar dollar AS setelah klaim pengangguran mingguan negeri paman sam sebesar 265.000 berada di bawah proyeksi sebesar 267.000 meski naik dari sebelumnnya 258.000.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka, Ibrahim mengatakan, rilis data ekonomi terutama dari AS dan China memang menjadi perhatian pelaku pasar. Namun, secara umum, harga nikel masih memiliki prospek cerah di tahun ini. Salah satu pendukungnya adalah optimisme China atas perekonomian dalam negeri. Perdana menteri China, Li Keqiang berharap pertumbuhan ekonomi tahun 2016 akan lebih baik dari tahun 2015. Ia juga memastikan tidak akan ada hard landing atau penurunan tajam pada ekonomi negeri Tiongkok. "Pemerintah China melalui Bank Sentral China (PBOC) akan terus memberikan stimulus baik fiskal maupun moneter," papar Ibrahim. Perusahaan tambang pun mulai mengurangi produksi sebagai respon terhadap kejatuhan harga nikel. Produsen Nikel terbesar, GMK Norilsk Nickel PJSC berencana menurunkan kapasitas produksi untuk membantu mestabilkan harga setelah jatuhnya harga komoditas memangkas laba perusahaan hingga level terendah dalam enam tahun. Tahun lalu, harga nikel tenggelam hingga 42% lantaran perlambatan ekonomi China mengikis permintaan. Industri baja yang merupakan konsumen nikel terbesar juga tengah menderita. China menggenjot pengiriman baja murah ke pasar dunia akibat berkurangnya permintaan lokal. Kondisi ini membuat pendapatan Norilsk turun 28% menjadi US$ 8,5 miliar dan laba bersihnya tergerus 13% menjadi US$ 1,73 miliar. Norilsk menyatakan perlunya pengurangan produksi nikel global minimal 20% - 25% tahun ini. Perusahaan melihat konsumsi nikel tahun ini tidak berubah di kisaran 1,9 juta metrik ton. Sedangkan pasokan kemungkinan mengalami defisit 70.000 - 90.000 ton.
Fan Runze, analis di Beijing Antaike Information Development memperkirakan, produksi nikel di China kemungkinan akan kembali turun di tahun 2016 menjadi 560.000 metrik ton dari tahun lalu 630.000 metrik ton. Ini merupakan penurunan di tahun kedua. Selanjutnya, permintaan nikel China diperkirakan naik 2% menjadi 980.000 metrik ton, sedangkan permintaan global meningkat 2% menjadi 1,93 juta metrik ton. Selanjutnya, Runze memprediksi produksi global tetap di angka 1,97 juta metrik ton tahun ini. Sementara surplus akan berkurang menjadi 40.000 metrik ton dari tahun lalu 80.000 metrik ton. Harga nikel tahun ini diprediksi mencapai US$ 9.000 per metrik ton. Sejalan, Ibrahim pun menduga nikel akan menguat hingga US$ 10.000 per metrik ton pada akhir tahun ini. Kenaikan harga didukung oleh program stimulus ekonomi dari berbagai negara serta upaya pemangkasan produksi oleh para produsen. "Pemangkasan produksi bisa mengakibatkan kenaikan angka pengangguran. Tetaoi ketika, ekonomi stabil angka pengangguran akan kembali berkurang," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia