Harga nikel naik, 3 smelter tetap tertidur



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Membaiknya harga nikel pada Oktober tahun ini dengan harga US$ 11.675 per ton, tak membuat tiga perusahaan smelter nikel kembali beroperasi. Ketiganya, PT Indoferro dan PT Bintang Timur Steel di Cilegon, serta PT Cahaya Modern Metal.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mencatat tidak beroperasinya ketiga smelter perusahaan tersebut dipengaruhi oleh harga bahan baku yakni kokas. Sementara harga nikel pada Juli 2017 lalu jatuh ke level US$ 9.000 per ton.

Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja sama, Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyebutkan, harga kokas, salah satu komponen utama pengolahan dan pemurnian nikel, naik menjadi US$ 300 per ton dari sebelumnya US$ 100 per ton.


"Menurut saya, tidak ada kaitannya antara dibukanya ekspor lewat PP 1/2017 dengan berhentinya operasi smelter dalam negeri. Karena pasokan ore tetap terjamin," kata Dadan kepada Kontan.co.id, Senin (16/10).

PP 1/2017 mewajibkan perusahaan melakukan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri. Perusahaan dilarang mengekspor mineral mentah atau konsentrat.

Namun sampai saat ini, kata Dadan, meskipun harga nikel cenderung membaik, ketiga perusahaan tersebut belum melaporkan rencana pengoperasian kembali.

Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono mengatakan, salah satu perusahaan mengalami masalah ekonomi akibat pengoperasian peleburan nikel dengan menggunakan teknologi blast furnace.Teknologi tersebut sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku, salah satunya adalah kokas.

Pasalnya, harga kokas, yang memiliki porsi 40% dari total biaya produksi, meningkat hingga US$ 300 per ton sejak akhir 2016. Padahal harga pada 2015 rata-rata hanya US$ 100 per ton.

“Hal inilah yang menjadi penyebab terhentinya kegiatan produksi PT Cahaya Modern Metal Industri,” ujarnya.

Sementara, operasi PT Indoferro dan PT Bintang Timur Steel sejak awal tidak di desain untuk memurnikan bijih nikel sehingga tingkat keekonomiannya akan berbeda dengan desain awal. PT Indoferro semula memurnikan bijih besi, sedangkan PT Bintang Timur Steel semula memurnikan bijih mangan.

Direktur Pengembangan Indoferro, Jonatan Handjojo membenarkan bahwa sampai saat ini smelter Indoferro belum bisa kembali dioperasikan. "Masih tidur nyenyak," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Senin (16/10).

Ketika ditanya perihal smelter Indoferro yang akan diakuisisi oleh perusahaan asal Rusia, yaitu Blackspace, Jonatan tidak membenarkan. Dia bilang, perusahaan akan tetap diopersikan oleh Indoferro. "Mau dijalankan lagi kok," tandasnya.

Asal tahu saja, menurut catatan Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I), sampai tahun 2017 ini tercatat sudah 34 smelter yang telah beroperasi dengan nilai investasi US$ 20 miliar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia