Harga nikel sensitif terhadap perubahan ekonomi global



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Analis Asia Central Capital Futures Wahyu Tribowo Tribowo Laksono menilai harga nikel pada dasarnya sensitif terhadap ancaman perubahan ekonomi global. Tahun ini, ekonomi global diprediksi masih akan bergejolak karena efek kelanjutan perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China serta keputusan The Fed.

Mengutip Bloomberg, Jumat (8/3), harga nikel kontrak tiga bulanan di bursa London Metal Exchange (LME) berada di posisi US$ 13.035 per metrik ton. Harga ini melemah 2,5% atau sekitar US$ 13.370 per metrik ton pada perdagangan sehari sebelumnya. Dalam sepekan, harga komoditas ini terkoreksi 0,91%.

Pekan lalu, Perdana Menteri China Li Keqiang dalam laporan sesi rapat tahunan Kongres Nasional China memperkirakan produk domestik bruto (PDB) China akan tumbuh di kisaran 6%-6,5% sampai dengan akhir 2019.


Di sisi lain, pertumbuhan Uni Eropa (UE) diprediksi melambat. Pekan lalu, Eropean Central Bank (ECB) pun merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Uni Eropa dari 1,7% menjadi 1,1% pada  tahun ini. 

Pelambatan ekonomi global disebabkan efek  perang dagang AS dan China yang berkepanjangan. Dengan skenario perang dagang selesai pada 27 Maret 2019, tekanan ekonomi global meredam, dan The Fed bersikap konservatif, harga nikel dapat membaik.

Wahyu mengatakan, pelambatan harga nikel akan terbatas dan berpotensi rebound, tapi sulit untuk melambung. Secara fundamental, harga nikel masih bisa unjuk gigi dalam jangka panjang.

"Harga nikel akan diuntungkan dari permintaan baja yang kuat hingga 2019," kata Wahyu kepada Kontan.co.id, Sabtu (9/3). Permintaan nikel global diperkirakan sekitar 2,4 juta ton tahun ini.

Dari jumlah itu, sekitar dua pertiga diperuntukkan bagi pabrik baja nirkarat, kebanyakan dari China. Kata Wahyu, harga baja nirkarat terus meningkat dan pasokan feronikel sangat ketat.

Data International Nickel Study Grup menunjukkan terdapat defisit di pasar nikel dalam tiga tahun terakhir. Yakni sebanyak 46.000 ton pada 2016, 115.000 ton pada 2017 dan 127.000 ton di tahun lalu.

LME mencatat stok nikel saat ini sebanyak 196.542 ton, turun 37% dibanding tahun lalu. Sementara persediaan di gudang Shanghai Futures Exchange (SFE) berada di bawah 10.000 ton, turun hampir 40% sejak pertengahan November tahun lalu.

Permintaan nikel untuk bahan baku baterai pun menjadi katalis positif tahun ini. Baterai jenis NMC dan NCA digandrungi industri saat ini. Sebab, kedua sel baterai itu mengandung nikel.

Meskipun baterai masih menyumbang sebagian kecil dari permintaan nikel, elektrifikasi mobil semakin meningkat sehingga sumber permintaan naik. Kata Wahyu, saat ini mobil listrik dicanangkan oleh berbagai negara, seperti  China dan Eropa.

Tentunya permintaan nikel diperkirakan akan lebih tinggi. Di sisi lain pasokan nikel dalam tren menurun. “Pelaku pasar memperkirakan sektor baterai akan menjadi senjata nikel tahun ini,” tutur Wahyu.

Wahyu mengatakan, secara teknikal harga nikel untuk saat ini masih berpotensi naik, tapi terancam koreksi. Dus, ia menyarankan jual untuk komoditas ini.

Adapun prediksi pergerakan harga nikel untuk perdagangan Senin (11/3), berada di area support US$ 12.900, US$ 12.600, dan US$ 11.750 per metrik ton. Sementara resistance harga nikel antara US$ 13.100, US$ 13.250, dan US$ 13.400 per metrik ton. Sedangkan sepekan ke depan di area US$ 12.000-US$ 14.000 per metrik ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat