KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali berimbas pada harga komoditas, antara lain nikel. Harga logam industri ini kembali merosot lantaran pelaku pasar dirundung kekhawatiran terhadap prospek sektor manufaktur dan industri China akibat kebijakan tarif yang menimpa Negeri Tembok Besar tersebut bertubi-tubi. Mengutip Bloomberg, harga nikel kontrak tiga bulanan di London Metal Exchange (LME), Senin (17/9), ditutup pada level US$ 12.240 per metrik ton. Harga tersebut jatuh 3,28% jika dibandingkan dengan harga penutupan pada hari sebelumnya. Dalam sepekan, harga nikel terus bergerak pada level yang rendah dan mencatat koreksi 1,37%. Analis Asia Trade Point Futures Andri Hardianto, mengatakan, perang dagang yang terus bergulir dan makin memanas membuat kepercayaan pasar terhadap pasar komoditas kian berkurang. "Ini perang dagang yang melibatkan AS dan China secara head-to-head. Sementara, China memiliki industri smelter terbesar sekaligus konsumen komoditas terbesar juga di dunia," ujar Andri, Selasa (18/9).
Harga nikel terseret ketegangan perang dagang AS-China
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali berimbas pada harga komoditas, antara lain nikel. Harga logam industri ini kembali merosot lantaran pelaku pasar dirundung kekhawatiran terhadap prospek sektor manufaktur dan industri China akibat kebijakan tarif yang menimpa Negeri Tembok Besar tersebut bertubi-tubi. Mengutip Bloomberg, harga nikel kontrak tiga bulanan di London Metal Exchange (LME), Senin (17/9), ditutup pada level US$ 12.240 per metrik ton. Harga tersebut jatuh 3,28% jika dibandingkan dengan harga penutupan pada hari sebelumnya. Dalam sepekan, harga nikel terus bergerak pada level yang rendah dan mencatat koreksi 1,37%. Analis Asia Trade Point Futures Andri Hardianto, mengatakan, perang dagang yang terus bergulir dan makin memanas membuat kepercayaan pasar terhadap pasar komoditas kian berkurang. "Ini perang dagang yang melibatkan AS dan China secara head-to-head. Sementara, China memiliki industri smelter terbesar sekaligus konsumen komoditas terbesar juga di dunia," ujar Andri, Selasa (18/9).