Harga Nikel Terus Melandai, Bagaimana Prospek Bisnisnya?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Melandainya harga nikel tidak membuat prospek komoditas ini menjadi redup begitu saja. Permintaan yang masih besar di masa depan untuk baterai kendaraan listrik menjadikan bisnis nikel dipandang tetap gurih di era transisi energi. 

Direktur Avere Investama Teguh Hidayat mengatakan, penurunan harga nikel saat ini sejatinya sama seperti tren penurunan harga komoditas mineral dan batubara.  

“Secara keseluruhan harga komoditas masih terus melandai sejak 2022, pasca ledakan (booming) komoditas mineral di masa pandemi Covid-19. Jadi tidak ada hubungannya dengan oversupply,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (24/1). 


Justru menurut dia, setelah kebijakan moratorium ekspor bijih nikel pada 2020 lalu, harga nikel menguat. Bahkan kebijakan ini dapat mengatasi kelebihan pasokan (oversupply) nikel di dunia. 

Baca Juga: Melandainya Harga Nikel Bukan Hanya Masalah Oversupply

Teguh bilang, harga nikel memang sempat melonjak hingga US$ 40.000 per ton. Setelah itu, harga nikel terus menurun sampai berada di level sekitar US$ 16.000 per ton. Namun dia memprediksi harga nikel tidak akan turun lebih jauh hingga menyentuh US$ 10.000 per ton seperti pada 2020 lalu. 

Dia melihat prospek industri nikel masih sangat positif karena komoditas ini mayoritas diolah untuk menghasilkan stainless steel. Produk hilir tersebut dibutuhkan oleh banyak sektor manufaktur seperti otomotif hingga perabotan rumah tangga. 

Maklum, saat ini pengolahan bijih nikel di Indonesia baru terbatas dari smelter kelas 2 yang memproduksi nickel pig iron (NPI) dan feronickel (FeNi) yang digunakan sebagai bahan baku stainless steel. 

Sedangkan, pengembangan nikel menjadi baterai kendaraan listrik masih minim karena smelter yang memproduksi Mixed Hidroxide Precipitate (MHP) belum banyak di Indonesia. Artinya, potensi pengolahan nikel menjadi baterai EV masih terbuka lebar. 

“Penggunaan nikel ini tidak hanya terbatas untuk baterai EV saja tetapi jauh lebih luas dari itu,” ujar dia. 

Baca Juga: Intip Rekomendasi Saham Aneka Tambang (ANTM) yang Fokus Hilirisasi Nikel

Melihat cakupan kebutuhan nikel yang masih luas dan besar, Teguh yakin prospek komoditas ini masih sangat menarik. Bahkan dengan hebohnya isu nikel yang oversupply membuat harga saham sejumlah perusahaan nikel turun sehingga ada kesempatan harga sahamnya rebound kembali. 

Meski demikian, penurunan harga saat ini cukup berdampak pada kinerja keuangan perusahaan nikel seperti yang dialami PT Vale Indonesia Tbk (INCO). 

Dalam laporan keuangan, INCO mencatatkan laba sebesar US$ 52,6 juta di kuartal III 2023 atau turun 33,8% QoQ dari sebelumnya US$ 70,4 juta di kuartal II 2023. Hal ini disebabkan harga realisasi rata-rata nikel yang lebih rendah.

Adapun harga realisasi rata-rata nikel INCO sejak awal tahun hingga kuartal III 2023 terus turun. Pada kuartal I 2023, INCO mencatat harga jual nikel senilai US$ 21.672 per ton, kemudian menjadi US$ 17.967 per ton di kuartal II 2023, dan terus turun lagi menjadi US$ 16.204 per ton di kuartal III 2023. 

Meskipun terjadi penurunan harga, INCO tetap mencatat peningkatan penjualan sebesar 7% year on year (yoy) menjadi US$ 937,89 juta sampai dengan September 2023 didorong oleh peningkatan volume pengiriman nikel dalam matte. 

Baca Juga: United Tractors (UNTR) Memacu Diversifikasi Bisnis Nonbatubara

Head of Communications PT Vale Indonesia, Bayu Aji menyatakan rencana hilirisasi INCO sejalan dengan program hilirisasi yang digagas oleh pemerintah Indonesia. 

“Kami membuat rencana bisnis sudah diselaraskan dengan hilirisasi pemerintah arahnya mirip. Agenda bisnis kami sama-sama mendukung baterai EV, sustainable atau ESG,” ujarnya ditemui di Jakarta, Jumat (12/1). 

Bayu mengakui, penurunan harga nikel saat ini tidak akan berdampak pada aktivitas produksi INCO. Sebab berapapun nikel matte yang diproduksi di Sorowako akan langsung diserap sehingga produksi tetap jalan. 

“Dan kami salah satu produsen nikel dengan biaya operasional paling rendah karena sumber energi dari hidro. Biaya energi ini salah satu komponen paling tinggi dalam produksi nikel,” pungkas dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati