KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga komoditas pertanian terus naik. Harga jagung di Chicago Board Trade misalnya, sudah naik 13% lebih secara
year to date (ytd). Lantas bagaimana dampak kenaikan ini terhadap kinerja emiten unggas? Analis Phillip Sekuritas Michael Filbery mengatakan, kenaikan harga pakan sudah dapat diminimalisir. Hal ini dikarenakan pemain integrator besar sudah mengantisipasi kenaikan harga bahan baku tersebut melalui ketersediaan silo dan
corn dryer. "Kapasitas
corn dryer dan silo yang memadai dapat menurunkan eksposur naiknya harga seperti jagung dan kedelai. Kenaikan harga bahan baku tidak selalu berpengaruh signifikan terhadap marjin emiten unggas, karena tergantung dari sistem costing emitennya," kata Michael kepada Kontan.co.id, Jumat (19/2)
Lebih lanjut, beberapa emiten unggas sudah menggunakan sistem
average cost. Oleh karena itu, memungkinkan mereka untuk mengakumulasi bahan baku pakan ketika harga masih relatif rendah. Dus, marjin-nya masih bisa terjaga. Selain itu, Michael juga bilang, para integrator juga masih menerapkan sistem
cost plus marjin, sehingga volatilitas harga bisa ditransfer ke konsumen. Oleh karena itu, Michael meyakini sektor unggas masih sangat menarik ke depannya. Menurutnya, sektor ini punya ruang pertumbuhan yang sangat besar. Bisa dilihat dari tingkat konsumsi ayam perkapita per tahun di Indonesia yg masih jauh di bawah dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei. "Dengan bonus demografi dan prospek pertumbuhan ekonomi yang masih menjanjikan, seharusnya akan turun mendorong meningkatnya konsumsi ayam di Indonesia," imbuh Michael. Di sisi lain, ia menilai ada kecenderungan para integrator untuk berekspansi mengeluarkan produk
downstream seperti ayam olahan/siap saji sehingga akan semakin menjangkau konsumen tingkat akhir. Michael menambahkan, saat ini pandemi Covid-19 adalah sentimen utama bagi sektor ini. Ketika bisa ditangani, pembatasan sosial akan lebih longgar sehingga mengurangi hambatan masyarakat mengonsumsi ayam. Namun, jika tidak bisa ditangani, aktivitas bisnis hotel, restoran, dan
cafe akan terganggu. Sehingga dapat menghambat laju konsumsi ayam. Kemudian, jika terdapat kelangkaan pasokan bahan baku di dalam negeri yang signifikan juga bisa menekan marjin emiten unggas. "Program pemusnahan pemerintah masih memegang peranan penting dalam menjaga kestabilan harga di pasar menggiat
demand masih lemah. Kebijakan pemusnahan ini, pada akhirnya bisa mencegah kondisi
oversupply," terang Michael.
Michael menjadikan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (
JPFA) sebagai top pick karena punya sistem antisipasi risiko ketersediaan bahan baku yang mumpuni. JPFA juga memiliki kapasitas silo dan
corn dryer sehingga bisa mengakumulasi bahan baku dalam jumlah yang banyak ketika harga reltif rendah. Kemudian, JPFA sedang berekspansi ke produk
consumer goods melalui akuisisi So Good Food (SGF) sehingga membuka prospek pertumbuhan penjualan segmen
consumer goods-nya semakin besar serta dapat mengurangi eksposur volatilitas harga broiler dan DOC terhadap kinerja penjualan JPFA. Michael sendiri merekomendasikan untuk buy saham
JPFA dengan target harga Rp 1.850 per saham Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari