KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan alasan perubahan peraturan ekspor mineral dan batubara yang tadinya berdasarkan pada harga patokan mineral (HPM) dan harga patokan batubara (HPB), kini menjadi boleh dengan harga di bawah HPM atau HPB. Sebagai gambaran, sebelumnya Kementerian ESDM, telah menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 pada 24 Februari 2025. Malaui Kepmen ini, para eksportir minerba, diwajibkan untuk menjual komoditas mereka dengan mengacu pada harga patokan. Adapun, angka HPM didasarkan pada Harga Mineral Acuan (HMA) yang kemudian dikalikan dengan kadar mineral dan faktor koreksi (Corrective Factor - CF), serta komponen lain seperti biaya pengolahan dan pemurnian. Lalu khusus untuk batubara, perhitungan angka HPB didasarkan pada Harga Batubara Acuan (HBA). Formula penetapan HBA mempertimbangkan empat indeks harga batubara dunia, yaitu Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), Indonesia Coal Index (ICI), dan Platt's 5900, serta kualitas batubara seperti nilai kalor, kandungan air, sulfur, dan abu. Sebelumnya, dalam Kepmen ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025, HMA dan HBA terbit dua kali dalam sebulan, yaitu setiap tanggal 1 dan 15. Setelah menjajaki peraturan selama kurang lebih 6 bulan, Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan pemerintah memutuskan untuk mengembalikan patokan harga ekspor seperti semula. Artinya, para eksportir dapat menjual mineral dan batubara mereka di bawah harga HPB dan HPM. Baca Juga: Kementerian ESDM Terbitkan Aturan Baru Penjualan Mineral dan Batubara "Iya, kembali seperti semula (HPB dan HPM bukan harga ekspor)," ungkap Tri saat ditemui di Kantor ESDM, Jumat (29/08/2025). Tri kemudian menegaskan, alasan terkuat untuk tidak mengikuti harga HPB dan HPM sebagai patokan harga ekspor adalah karena turunnya harga komoditas minerba di pasar global. "Harga cenderung turun. Produksi di China nambah, produksi di India nambah, pertimbangannya itu," jelas dia. Tri menjelaskan, khusus untuk batubara misalnya, dua negara importir batubara terbesar di dunia China dan India, sekaligus pasar mayoritas Indonesia, saat ini tengah meningkatkan volume produksi mereka. Efek domino, ternyata hal ini berdampak pada penurunan permintaan batubara global, hingga harga cenderung turun. Sebelumnya, Tri juga sempat menekankan bahwa jika menjual dengan standar HPB dan HPM, beberapa penambang mengeluhkan kesulitan menjual komoditas mineral mereka. Baca Juga: HBA dan HMA Periode Kedua Agustus 2025: Semua Jenis Batubara Kompak Alami Penurunan "Karena ada (penambang) yang enggak bisa menjual dengan harga itu (harga patokan). Ada sebagian yang (tidak bisa menjual) tapi bukan semuanya” kata Tri dalam usai ditemui dalam peresmian fase FEED proyek LNG Abadi, Kamis (28/8/2025). Meski begitu, HPB dan HPM akan tetap menjadi acuan dasar perhitungan untuk pajak dan royalti atau iuran produksi minerba. Dalam catatan Kontan, keputusan ini melahirkan beleid baru, yaitu Kepmen ESDM Nomor 268.K/MB.01/MEM.B/2025, sebagai pengganti Kepmen ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025. Menegaskan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Kontrak Karya (KK), maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) boleh menjual komoditas minerba mereka yang telah memiliki kontrak penjualan dengan harga di bawah HPM atau HPB. "Dalam hal pemegang Izin Usaha Pertambangan tahap kegiatan Operasi Produksi, pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus tahap kegiatan Operasi Produksi, dan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian termasuk pemegang Kontrak Karya dan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara menjual Mineral logam atau Batubara berdasarkan kontrak di bawah HPM atau HPB, HPM dan HPB tetap digunakan dalam penghitungan kewajiban perpajakan dan menjadi harga dasar dalam pengenaan iuran produksi," bunyi poin empat Kepmen, ESDM Nomor 268.K/MB.01/MEM.B/2025.
Harga Patokan Mineral & Batubara Tak Kuat Pengaruhi Ekspor, ESDM:Kembali ke Cara Lama
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan alasan perubahan peraturan ekspor mineral dan batubara yang tadinya berdasarkan pada harga patokan mineral (HPM) dan harga patokan batubara (HPB), kini menjadi boleh dengan harga di bawah HPM atau HPB. Sebagai gambaran, sebelumnya Kementerian ESDM, telah menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 pada 24 Februari 2025. Malaui Kepmen ini, para eksportir minerba, diwajibkan untuk menjual komoditas mereka dengan mengacu pada harga patokan. Adapun, angka HPM didasarkan pada Harga Mineral Acuan (HMA) yang kemudian dikalikan dengan kadar mineral dan faktor koreksi (Corrective Factor - CF), serta komponen lain seperti biaya pengolahan dan pemurnian. Lalu khusus untuk batubara, perhitungan angka HPB didasarkan pada Harga Batubara Acuan (HBA). Formula penetapan HBA mempertimbangkan empat indeks harga batubara dunia, yaitu Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), Indonesia Coal Index (ICI), dan Platt's 5900, serta kualitas batubara seperti nilai kalor, kandungan air, sulfur, dan abu. Sebelumnya, dalam Kepmen ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025, HMA dan HBA terbit dua kali dalam sebulan, yaitu setiap tanggal 1 dan 15. Setelah menjajaki peraturan selama kurang lebih 6 bulan, Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan pemerintah memutuskan untuk mengembalikan patokan harga ekspor seperti semula. Artinya, para eksportir dapat menjual mineral dan batubara mereka di bawah harga HPB dan HPM. Baca Juga: Kementerian ESDM Terbitkan Aturan Baru Penjualan Mineral dan Batubara "Iya, kembali seperti semula (HPB dan HPM bukan harga ekspor)," ungkap Tri saat ditemui di Kantor ESDM, Jumat (29/08/2025). Tri kemudian menegaskan, alasan terkuat untuk tidak mengikuti harga HPB dan HPM sebagai patokan harga ekspor adalah karena turunnya harga komoditas minerba di pasar global. "Harga cenderung turun. Produksi di China nambah, produksi di India nambah, pertimbangannya itu," jelas dia. Tri menjelaskan, khusus untuk batubara misalnya, dua negara importir batubara terbesar di dunia China dan India, sekaligus pasar mayoritas Indonesia, saat ini tengah meningkatkan volume produksi mereka. Efek domino, ternyata hal ini berdampak pada penurunan permintaan batubara global, hingga harga cenderung turun. Sebelumnya, Tri juga sempat menekankan bahwa jika menjual dengan standar HPB dan HPM, beberapa penambang mengeluhkan kesulitan menjual komoditas mineral mereka. Baca Juga: HBA dan HMA Periode Kedua Agustus 2025: Semua Jenis Batubara Kompak Alami Penurunan "Karena ada (penambang) yang enggak bisa menjual dengan harga itu (harga patokan). Ada sebagian yang (tidak bisa menjual) tapi bukan semuanya” kata Tri dalam usai ditemui dalam peresmian fase FEED proyek LNG Abadi, Kamis (28/8/2025). Meski begitu, HPB dan HPM akan tetap menjadi acuan dasar perhitungan untuk pajak dan royalti atau iuran produksi minerba. Dalam catatan Kontan, keputusan ini melahirkan beleid baru, yaitu Kepmen ESDM Nomor 268.K/MB.01/MEM.B/2025, sebagai pengganti Kepmen ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025. Menegaskan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Kontrak Karya (KK), maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) boleh menjual komoditas minerba mereka yang telah memiliki kontrak penjualan dengan harga di bawah HPM atau HPB. "Dalam hal pemegang Izin Usaha Pertambangan tahap kegiatan Operasi Produksi, pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus tahap kegiatan Operasi Produksi, dan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian termasuk pemegang Kontrak Karya dan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara menjual Mineral logam atau Batubara berdasarkan kontrak di bawah HPM atau HPB, HPM dan HPB tetap digunakan dalam penghitungan kewajiban perpajakan dan menjadi harga dasar dalam pengenaan iuran produksi," bunyi poin empat Kepmen, ESDM Nomor 268.K/MB.01/MEM.B/2025.
TAG: