KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun ini sepertinya menjadi tahunnya batubara. Harga si batu hitam ini terus mencatatkan rekor baru sepanjang tahun ini. Teranyar, harga batubara di pasar ICE Newcastle (Australia) tercatat mencapai US$ 212 per ton atau rekor tertinggi sepanjang sejarah. Padahal, pada akhir 2020, harga batubara masih berada di level US$ 79,55 per ton. Artinya secara
year to date sudah melesat hingga 166,5%. Research and Development ICDX Girta Yoga mengungkapkan, kenaikan harga batubara belakangan ini disebabkan oleh semakin derasnya desakan pengurangan emisi global untuk mencapai target nol bersih. Hal ini secara tidak langsung membatasi investasi baru di industri yang menghasilkan bahan bakar fosil, termasuk tambang batubara.
Baca Juga: Dilanda krisis energi, China dorong peningkatan kontrak pasokan batubara Selain itu, komitmen China untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060 nanti turut menambah ancaman pengetatan pasokan batubara global, pasalnya China merupakan produsen batubara terbesar dunia. Padahal, batubara hingga saat ini masih menjadi sumber bahan bakar yang paling murah dan banyak digunakan untuk pembangkit listrik di dunia “Hal tersebut berpotensi membuat tren kenaikan harga batubara ini bertahan cukup lama, karena adanya penurunan pasokan sementara permintaan meningkat terus,” kata Yoga kepada Kontan.co.id, Rabu (29/9). Founder Traderindo.com Wahyu Laksono menambahkan, periode pandemi Covid-19 rupanya justru menjadi periode yang mendukung kenaikan harga batubara. Ia bilang, produksi batubara terus mengalami penurunan bahkan hingga setengahnya sejak dua dekade terakhir. Namun, sejak pandemi berlangsung, penggunaan batubara justru naik dari 15% menjadi 23%.
Baca Juga: Di mata investor, krisis listrik China lebih berbahaya dibanding krisis Evergrande Lebih lanjut, kenaikan harga gas alam yang semakin mahal juga turut menjadi penyebab naik harga batubara. Menurut Wahyu, harga gas yang semakin mahal membuat biaya pembangkitan listrik dengan bahan bakar ini kian tidak ekonomis. Pada akhirnya, batubara menjadi pilihan karena harga yang lebih murah, meskipun negara-negara Eropa selalu menjunjung tinggi isu ramah lingkungan. “Pasokan gas alam yang semakin menipis berpotensi terus mengerek harganya naik, apalagi hal ini diperparah dengan musim dingin yang sebentar lagi dimulai,” imbuh Wahyu. Dengan kebutuhan batubara yang masih tetap tinggi, baik dari Eropa maupun China, Wahyu melihat tren penguatan masih bisa akan berlanjut. Hal yang sama juga diamini oleh Yoga, menurutnya yang bisa menjegal harga batubara tidak terus menguat adalah adanya pelonggaran penggunaan batubara
Baca Juga: Melesat 15,23% pasca umumkan buyback, begini arah saham Adaro Energy (ADRO) Yoga menilai, dengan adanya pelonggaran, maka produksi batubara di berbagai negara bisa akan meningkat sehingga membuat pasokan batubara bisa kembali stabil. Dus, harga batubara pun bisa mengalami penurunan. Namun, jika sebaliknya, maka harga batubara masih akan terus menguat.
“Harga batubara berpotensi melaju naik ke level
resistance di kisaran US$ 225 per ton-US$ 250 per ton, dan level
support di kisaran US$ 175 per ton-US$ 150 per ton, setidaknya hingga akhir tahun ini,” kata Yoga. Sementara Wahyu memperkirakan pada kuartal keempat 2021, harga batubara akan bergerak pada rentang US$ 160 per ton-US$ 250 per ton. Sedangkan pada akhir tahun, hitungannya harga batubara ada di kisaran US$ 230 per ton.
Baca Juga: Negosiasi ulang COD 34 pembangkit, PLN targetkan rampung tahun ini Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati