JAKARTA. Pengamat Industri Pulp dan Kertas, Rusli Tan mengatakan saat ini adalah waktu yang tepat untuk Indonesia menggenjot produksi bahan baku kertas (
pulp). “Sebab harganya tengah naik, dan Indonesia punya kesempatan bisnis ini,” ujarnya kepada KONTAN, Rabu (2/8). Menurut
indexmundi.com, harga komoditas
wood pulp alias bubur kertas pada 1 Agustus kemarin telah menembus US$ 875 per ton.
Menurut Rusli yang juga Dewan Pakar Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), di kawasan Asia tidak ada negara yang mempunyai kemampuan produksi
pulp seperti Indonesia. Namun hadirnya Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Perubahan Permen LHK Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) seakan membuyarkan impian tersebut. Aturan baru itu mengatur soal penggunaan HTI. Beberapa pihak melihat Permen tersebut akan mengurangi pasokan bahan baku industry
pulp dan
paper. Rusli pun menyayangkan regulasi tersebut. “Kalau pemerintah bisa mengerti kondisi
market (tren harga
pulp), ini bisa sampai tahun depan,” ungkap Rusli. Asal tahu saja, sampai saat ini dengan penambahan beberapa pabrik
pulp baru, Indonesia memiliki kapasitas terpasang produksi
pulp di kisaran 15 juta - 16 juta ton per tahun. Sampai saat ini total utilitasnya diperkirakan 70%. Rusli juga menilai, aturan tersebut bakal memicu impor
pulp yang semakin pesat. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, impor
pulp periode Januari-Mei 2017 tercatat US$ 641 juta, naik 9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Yang punya pabrik
pulp harusnya didorong, mereka pasti mau tanam karena ketergantungan pada kayu. Bayangkan saja, untuk mendapatkan 1 ton
pulp butuh 4,5 kubik kayu,” beber Rusli. Sedangkan pohon untuk bubur kertas berasal dari jenis Akasia yang masa panennya 4-5 tahun. Sementara ekspor produk kertas Indonesia lebih dari 84 negara tujuan. “Jepang saja kebutuhan
fotocopy paper 30% berasal dari Indonesia,” kata Rusli. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dessy Rosalina