Harga rokok dinilai terlalu rendah



JAKARTA. Polemik wacana kenaikan harga rokok di media sosial terus bergulir. Wacana kenaikan tersebut sebenarnya sudah lama diusulkan, mengingat harga rokok di Indonesia paling murah dibanding negara lain.

Terlalu murahnya harga rokok di Indonesia dinilai menjadi penyebab tingginya jumlah perokok di negeri ini.

Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. Hasbullah Thabrany mengatakan, usulan kenaikan harga rokok bertujuan untuk mengurangi konsumsi rokok, khususnya pada masyarakat kurang mampu.


"Pengalaman di berbagai negara menunjukkan, harga rokok yang makin mahal merupakan cara paling efektif untuk mengurangi konsumsi rokok dan mencegah anak- anak dan penduduk miskin membeli rokok. Itu fakta di dunia," kata Hasbullah saat dihubungi Kompas.com, Minggu (21/8).

Di Indonesia, dengan harga sebungkus rokok sekitar Rp 12.000, banyak konsumen dari golongan kurang mampu yang mudah membeli rokok. Bahkan pengeluaran rokok mengalahkan pengeluaran untuk membeli makanan bergizi seperti telur, ikan, dan tempe di kalangan menenfah ke bawah.

Anak-anak usia sekolah yang sudah mendapat uang jajan juga mampu membeli rokok dengan harga yang sangat murah. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2014 menunjukkan, prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun di Indonesia mencapai 20,3%.

Dampak buruknya, mereka yang merokok di usia sekolah akan berlanjut hingga dewasa karena rokok bersifat adiktif. Akibatnya, banyak perokok yang sudah terserang penyakit pada usia produktif.

Merokok merupakan salah satu faktor utama munculnya penyakit jantung dan stroke di usia muda. Merokok juga memperparah kondisi penyakit seseorang. "Merokok meningkatkan kerugian ekonomi karena sakit, karena meninggal di usia muda," kata Hasbullah.

Kerugian lebih besar

Seperti dikutip dari Harian Kompas, peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Soewarta Kosen mengungkapkan, kerugian total akibat konsumsi rokok selama 2013 mencapai Rp 378,75 triliun.

Bahkan jumlah kerugian itu 3,7 kali lebih besar dibanding cukai tembakau yang diperoleh negara sebesar Rp 103,02 triliun tahun 2013. Jadi, kenaikan harga rokok justru memberikan keuntungan bagi masyarakat maupun pemerintah.

Dengan menurunnya prevalensi merokok di Indonesia, maka kerugian negara karena banyak masyarakat usia produktif yang sakit-sakitan pun berkurang.

Hasbullah pun menyangkal jika kenaikan harga rokok akan membuat perusahaan rokok di Indonesia bangkrut karena konsumsi rokok menurun. Menurutnya, perusahaan rokok akan tetap mendapat pemasukan dari kalangan menengah atau menengah ke atas yang tetap sanggup membeli harga rokok sekitar Rp 50.000 per bungkus.

Pengalaman di berbagai negara lagi-lagi membuktikan hal ini. "Enggak pernah terjadi perusahaan rokok bangkrut di Singapura dengan harga rokok mencapai Rp 120.000 atau di Australia yang harganya di atas Rp 200.000," jelas Hasbullah. (Dian Maharani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia