KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga saham blue chip di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam tren melemah pada November 2024. Bahkan, beberapa saham blue chip tersebut mencapai titik terendah tahun 2024 ini. Selagi harga turun, saham blue chip apa yang layak beli? Saham blue chip adalah saham lapis satu yang telah berpengalaman di lantai bursa. Selain itu, saham blue chip juga memiliki fundamental kuat dan kapitalisasi pasar besar mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah. Di BEI, saham blue chip biasanya menjadi anggota indeks mayor seperti LQ45. Di sisi lain, anggota LQ45 juga menjadi konstituen indeks lain seperti IDX BUMN20.
IDXBUMN20 adalah salah satu indeks saham Indonesia yang mengukur kinerja 20 saham yang merupakan perusahaan pelat merah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kinerja IDX BUMN20 masih terkoreksi seusai para emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) merilis laporan keuangan kuartal III 2024. Melansir data BEI, kinerja IDX BUMN20 sudah terkoreksi 9,98% sejak awal tahun alias
year to date (YtD). Hal ini karena banyak saham BUMN yang turun harga dan mencapai titik terendah pada tahun 2024. Salah satunya saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) yang pada perdagangan Selasa 12 November 2024 ditutup di level 2.600, turun 90 poin atau 3,35% dibandingkan sehari sebelumnya. Harga saham TLKM tersebut adalah yang terendah setidaknya dalam 5 tahun terakhir. Sejak awal tahun 2024, harga saham TLKM terakumulasi melemah 1.390 poin atau 34,84%.
Baca Juga: Syarat Mengajukan KUR BRI 2024, Suku Bunga, dan Limit Pinjaman KUR BRI Di sisi lain, BUMN telah menyetorkan dividen sebesar Rp 79,7 triliun ke kas negara hingga akhir bulan Oktober 2024. Berdasarkan catatan Kontan.co.id, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mendata bahwa jumlah dividen BUMN pada periode ini lebih tinggi dibandingkan dengan periode sama pada tahun sebelumnya. Setoran dividen BUMN sebesar Rp 79,7 triliun itu sudah mencapai 92,8% dari target APBN 2024. Pencapaian itu juga naik 7,5% secara tahunan alias
year on year (YoY). Pertumbuhan itu masih didorong oleh setoran dividen BUMN sektor perbankan yang disebabkan peningkatan kinerja keuangan. Sayangnya, pemerintah tak merinci jumlah masing-masing setoran para BUMN pada periode ini. Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rizkia Darmawan melihat, kinerja IDX BUMN20 secara bobot masih didominasi oleh sektor perbankan. Padahal, dalam sebulan terakhir aliran dana asing yang keluar dari pasar saham didominasi oleh para investor yang melepas emiten sektor perbankan. Melansir RTI, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (
BBRI) dijual asing Rp 5,2 triliun dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (
BMRI) dilego asing Rp 2,1 triliun dalam sebulan terakhir.
Tonton: Inilah Rincian Kredit Macet yang Boleh Dihapus Perbankan Di luar sektor perbankan, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (
TLKM) dilepas asing Rp 348,5 miliar dalam sebulan terakhir, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (
SMGR) dijual asing Rp 135,6 miliar, dan PT Bukit Asam Tbk (
PTBA) dilego asing Rp 90,2 miliar. “Aliran dana asing itu saat ini keluar dari pasar saham Indonesia dan lari ke pasar Amerika Serikat usai kemenangan Donald Trump,” ujar dia saat ditemui Kontan.co.id di Jakarta, Selasa (12/11). Asal tahu saja, aliran dana asing sudah keluar dari pasar saham sebesar Rp 9,44 triliun dalam sebulan dan Rp 12,35 triliun YtD di pasar reguler. Darma memprediksi, sentimen hasil Pilpres Amerika Serikat (AS) kemungkinan tidak akan lebih dari 28 hari ke depan. Ketika aliran dana asing mulai kembali masuk ke pasar saham, sektor yang pertama kali mengalami perbaikan kinerja adalah sektor keuangan. Lalu, sektor konsumer dan retail akan mengikuti setelahnya. Sektor komoditas juga bisa terkerek positif, meskipun sentimen global masih menyebabkan harga komoditas
volatile. “Dengan adanya insentif pajak dan hilirisasi komoditas yang berdampak positif ke sektor-sektor tersebut. Dari sisi bisnis, kebijakan itu juga akan meningkatkan
capex intensive cycle para emiten dalam operasi bisnis,” tuturnya. Darma pun menyarankan investor untuk memperhatikan saham BMRI, BBRI, PT Bank Negara Indonesia Tbk (
BBNI), dan PTBA. Untuk PTBA, Darma memberikan target harga Rp 2.500 per saham.
Baca Juga: IHSG Menguat 0,76% Hari Ini (12/11), Simak Proyeksi dan Rekomendasi Saham Untuk Esok Head of Investment Specialist Maybank Sekuritas Fath Aliansyah mengatakan, penurunan kinerja yang terjadi pada indeks IDX BUMN20 merupakan imbas dari keluarnya aliran dana asing yang merupakan efek dari hasil Pilpres AS. “Apalagi, indeks ini memiliki bobot besar terhadap saham BMRI, BBRI, dan BBNI,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (12/11). Menurut Fath, dalam jangka waktu dua hingga tiga bulan ke depan, kinerja emiten konstituen IDX BUMN20 masih cukup menantang. Namun, investor masih punya kesempatan yang baik untuk bisa melakukan pembelian secara bertahap, terutama untuk saham
blue chip yang tengah mengalami koreksi. Fath pun merekomendasikan beli untuk BBRI, BBNI, BMRI, dan BRIS dengan target harga masing-masing Rp 5.400 per saham, Rp 6.100 per saham, Rp 8.000 per saham, dan Rp 3.600 per saham. Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto melihat, jika dilihat dari pergerakan sejak awal tahun, pemberat IDXBUMN20 terutama adalah saham BBRI yang turun 21,4% YtD, TLKM terkoreksi 34,18% YtD, dan SMGR anjlok 43,75% YtD. “Sentimen negatif terutama adalah aliran keluar dana asing dari pasar saham domestik setelah China mengumumkan stimulus ekonomi dan kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (12/11). Sepanjang tahun ini,
net sell asing terbesar tahun ini adalah pada saham BBRI yang mencapai sekitar Rp 27,7 triliun yang tentunya menekan pergerakan saham BBRI. Padahal, jika dilihat secara fundamental, kinerja keuangan BBRI sebenarnya masih lumayan kuat hingga kuartal III 2024. BBRI mencatatkan laba sebesar Rp 45,06 triliun di kuartal III 2024, naik 2,44% YoY. Sedangkan, jika dilihat dari saham TLKM dan SMGR memang secara kinerja tahun ini relatif lesu, di mana pendapatan mereka stagnan, sedangkan laba melemah dibanding tahun lalu. Laba TLKM turun 9,35% YoY ke Rp 17,67 triliun per kuartal III 2024 dan laba bersih SMGR turun 58% YoY ke Rp 719,72 miliar. “Hal ini diperkirakan menyiutkan minat para investor untuk mengoleksi kedua saham tersebut. Mungkin sebelum kembali masuk, investor masih menunggu perbaikan kinerja kedua emiten itu atau jika valuasi sudah cukup murah,” katanya. Pandhu melihat, setoran dividen yang tinggi umumnya menunjukkan bahwa kondisi keuangan perusahaan cukup mumpuni dan mempunyai saldo laba dan kas yang cukup. “Perusahaan yang sudah pada tahap maturity, pertumbuhan kinerjanya sudah mulai stagnan dan tidak ada rencana ekspansi yang besar. Sehingga, sebagian besar laba dapat dialihkan sebagai dividen untuk para pemegang saham,” tuturnya. Oleh karena itu, para investor konservatif mungkin cocok untuk investasi di saham-saham yang menawarkan dividen tinggi seperti ini. Namun, jika melihat potensi Indonesia sebagai negara berkembang, masih banyak peluang saham-saham lain yang punya prospek pertumbuhan lebih baik, sehingga dipandang lebih menarik untuk jangka panjang. Hingga kuartal III, kinerja emiten konstituen IDX BUMN20 rata-rata masih cukup baik, terutama di sektor perbankan. Koreksi harga saham yang terjadi saat ini merupakan peluang bagi investor untuk mendapatkan level
entry yang lebih murah. “Ada peluang bagus ketika memasuki bulan Desember yang biasanya terdapat momentum
window dressing,” tuturnya. Sektor perbankan dinilai Pandhu tetap akan jadi favorit, karena memiliki kapitalisasi pasar dan bobot yang besar pada IHSG. Saham-saham
blue chip yang harganya tengah terkoreksi akan selalu menarik, karena selama ini sudah terbukti punya daya pantul yang baik. “Namun, tetap perhatikan perkembangan kinerja mereka, karena jika laba dan pendapatan terus merosot tentu akan mengurangi minat para investor, sehingga ketika terjadi koreksi lebih sulit tertahan,” paparnya. Pandhu pun merekomendasikan
buy on weakness untuk BBRI, TLKM, dan MTEL. Untuk BBRI, harga sahamnya sudah turun sekitar 20% dari level tertingginya tahun ini. Padahal, pendapatan dan laba masih tumbuh positif sepanjang tahun ini. “Kendala terbesarnya adalah tekanan dari
capital outflow yang masih besar. Target harga sekitar Rp 5.500 per saham,” tuturnya.
Untuk TLKM, sudah turun sekitar 38% dari level tertinggi di tahun ini. Padahal, kinerja masih relatif stabil dan hanya mengalami sedikit penurunan dibanding tahun lalu. Pandhu memberikan target harga untuk TLKM sekitar Rp 3.200 per saham. Sementara, untuk MTEL, harga sahamnya sudah turun sekitar 18% dari level tertinggi tahun ini. MTEL dinilai punya pola kenaikan yang cukup bagus ketika memasuki bulan Desember setiap tahunnya sejak
listing tahun 2021. Pandhu pun memberikan target harga untuk MTEL sekitar Rp 655 per saham.
Baca Juga: Nasabah BCA Wajib Tahu, Ini 2 Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu Di ATM BCA Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto